Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Peringatan Hardiknas, Namun Arah Pendidikan tak Jelas

Oleh : Salma Syahidah Nurromadhona

(Aktivis Mahasiswa)


Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Indonesia. Peringatan ini merupakan momentum penting bagi masyarakat Indonesia. Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, masyarakat Indonesia biasanya merayakannya dengan berbagai kegiatan. Upacara pengibaran bendera, seminar, dan berbagai kompetisi bertema edukasi akan digelar.


Namun, disela berbagai eforia tersebut, masih terdapat berbagai persoalan yang perlu diatasi dalam sektor pendidikan di Indonesia. Ada makna yang terlupakan dari momentum ini di tengah-tengah masyarakat.


Hasil survei kualitas pendidikan *Programme for International Student Assessment* (PISA) 2022 menunjukkan, skor kemampuan literasi, matematika, dan sains siswa Indonesia meningkat dari 2018. Sehingga, di tahun 2020 era pandemi, disusunlah Kurikulum Merdeka untuk memulihkan pembelajaran siswa pasca pandemi.


Hal tersebut merupakan upaya kecil meningkatkan pendidikan di Indonesia dari sisi perubahan metode pembelajaran. Tetapi, apakah upaya tersebut efektif untuk mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia?


Jika ditilik lebih jauh, kurikulum di Indonesia sering mengalami perubahan. Bahkan, hingga saat ini telah mengalami 12 kali perubahan kurikulum, dari tahun 1947 dan yang terakhir Kurikulum Prototipe yang dilaksanakan tahun 2022 lalu.


Faktanya, ditemukan bahwa perubahan kurikulum seringkali berdampak pada guru dan siswa. Sebab, perubahan kurikulum ini akan membingungkan guru dan siswa. Alih-alih siswa memahami cara belajar, proses belajar justru tidak membaik, malah sebaliknya. Guru juga harus mampu memahami dan menerapkan kurikulum baru, dan bahkan mengejar tujuan kurikulum baru ketika pelatihan guru menyebabkan kurang optimal. Hal serupa juga terjadi pada penerapan Kurikulum 2013.


Persoalan pendidikan di Indonesia bersifat sistemik. Tidak bisa hanya dengan memperbaiki permukaan, namun harus menuntaskan dari akarnya. Ketidaksiapan pemerintah dalam melakukan perubahan kurikulum tidak hanya merugikan kemanusiaan dan peradaban, tetapi juga berdampak pada perilaku (karakter) peserta didik. Kebijakan-kebijakan baru tersebut tidak dapat mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Pendidikan semakin didasarkan pada nilai-nilai Barat daripada ajaran Islam. Bagaimana anak didik dilatih untuk berkompetisi meraih target Barat dan dunia internasional. Hal ini membuktikan bahwa perubahan kurikulum akibat sistem pemerintahan kapitalis-demokratis memang identik dengan kelemahan dan kegagalan.


Persoalan berikutnya adalah pemerataan pendidikan di Indonesia. Meskipun setiap orang berhak atas pendidikan yang layak, masih banyak orang yang tidak memiliki apa yang seharusnya mereka dapatkan. Sebelumnya, sudah banyak program pemerintah untuk mengatasi pemerataan pendidikan di Indonesia namun juga belum berhasil. Misalnya, KIP untuk membantu siswa yang kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya, faktanya tidak tepat sasaran. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pemerataan pendidikan juga belum tercapai di Indonesia, belum lagi yang bisa merasakan kesempatan pendidikan diberatkan oleh biaya, seperti kebijakan UKT mahasiswa yang meningkat drastis presentasenya, biaya buku paket dan seragam jenjang SD, SMP, SMA yang membebankan orang tua, dan lain sebagainya.


Pendidikan merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia. Setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara. Sudah kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pengelolaan pendidikan. Negara dalam sistem Islam (Daulah Islam), akan menyediakan anggaran sesuai kebutuhan bagi berjalannya tujuan pendidikan. Sistem politik dan ekonomi Islam akan menopang kebutuhan dengan mengelola sumber-sumber kepemilikan umum sehingga layanan pendidikan dapat diperoleh dengan biaya semurah mungkin, bahkan gratis.


Tujuan pendidikan, materi pembelajaran, dan metode didasarkan pada keyakinan Islam. Memang benar bahwa penerapan kurikulum baru di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang mendasari negara ini: sistem sekuler kapitalis yang secara alami mengutamakan kepentingan kapitalis. Akibat diperkenalkannya suatu sistem yang lahir semata-mata dari nalar manusia, suatu sistem yang menjauhkan peranan Al-Kholiq dalam penyelenggaraan kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan.


Dampaknya adalah banyak generasi yang menjadi korban. Perubahan kurikulum tidak akan memberikan solusi yang tepat bagi generasi-generasi di negeri ini. Fasilitas cicilan yang hampir mirip *pinjol* pun juga tidak akan menjadi solusi bagi mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.


Faktanya, solusi terbaik saat ini adalah solusi Islami. Dalam sistem pendidikan Islam telah ditetapkan kurikulum yang sah, maka pendidikan harus diselenggarakan berdasarkan akidah Islam, karena Islam merupakan landasan tingkah laku umat Islam. Kurikulum mendidik generasi dengan prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan kaidah-kaidah Islam, yakni berkepribadian Islami yang kuat (*Aquriya dan Nafshiyyah*), penguasaan ilmu (*Tsaqofah Islam*) dan ilmu-ilmu hayati (sains dan teknologi), memperoleh pengetahuan dan keterampilan khusus) untuk memungkinkan mereka mengatasi tantangan hidup yang ada.


Islam menentukan kurikulum untuk mencapai pahala dan keridhaan Allah sesuai prinsip Islam. Satu abad yang lalu, terdapat peradaban Islam yang gemilang di mata bangsa lain selama kurang lebih 14 abad. Di peradaban itulah, lahirlah putra-putri pembangun peradaban, dan lahirlah generasi mulia yang menjadi pionir dan pemimpin di berbagai bidang seperti kesehatan, kimia, hukum, geografi, tata kota, matematika, dll.


Itulah Sistem Islam dalam Daulah Khilafah adalah sistem sempurna yang diciptakan Al-Kholiq, yang terbukti memberikan pendidikan terbaik lintas generasi.


Rasulullah SAW., bersabda,

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ


“Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.” (HR Ahmad; Shahih). 


Dengan Khilafah inilah, satu-satunya harapan kita untuk mewujudkan pendidikan sejahtera.

Posting Komentar

0 Komentar