Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

UKT Mahal, Potert Buram Kapitalisasi Pendidikan

Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)



Siti Aisyah, mahasiswi yang lulus UNRI jalur prestasi terpaksa mundur karena tak sanggup bayar UKT, menjadi sosok yang viral di media sosial. Meskipun dirinya lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), Siti memilih mundur karena tak mampu membayar UKT. Dikutip dari unggahan di Instagram @pkucity pada Selasa (21/5/2024), Siti merupakan lulusan dari SMA Negeri 1 Pendalian IV Kota, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. (Tribun Medan, 24/5/2024)



Selain Aisyah, sekitar 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau (Unri) yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memutuskan mundur dari Universitas Riau, karena merasa tidak sanggup untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT). Hal itu diungkapkan Presiden Mahasiswa Unri Muhammad Ravi, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia (BEM SI), bersama Komisi X DPR, Kamis (16/5/2024). Merespons hal tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Prof. Abdul Haris mengatakan, sebenarnya calon mahasiswa bisa mengajukan keringanan UKT ke pihak kampus. (Kompas.20/5/2024)



Seperti diketahui belakangan ini, ramai diperbincangkan tentang adanya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menaikkan biaya UKT atau Uang Kuliah Tunggal. Mahalnya UKT jelas bertentangan dengan konsep pendidikan yang menjadikan biaya pendidikan adalah hak setiap rakyat. Mirisnya lagi, sekolah yang siswanya lolos SNBP namun tidak mengambilnya, sekolah bisa diblacklist. Kenaikan biaya kuliah bukan kali ini saja terjadi, nyaris tiap tahun UKT naik dan kian memperburam potret pendidikan di Negeri ini. Dampaknya, bukan hanya menambah berat beban ekonomi para mahasiswa dan calon mahasiswa yang mayoritas berasal dari masyarakat bawah, tetapi juga turut memperberat beban fisik dan mental mahasiswa yang sudah terforsir dengan beban kurikulum yang luar biasa. Tidak heran jika akhir-akhir ini makin banyak mahasiswa yang putus kuliah atau terjerat pinjol hingga berujung kriminal. Tidak sedikit pula yang mengalami depresi dan sakit berkepanjangan, seperti kasus mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang meninggal setelah sakit karena tidak mampu membayar UKT yang makin mahal.



Kenaikan beban biaya kuliah tahun ini dilegitimasi oleh terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek Nomor 54/P/2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT), serta Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, di lingkungan Kemendikbudristek sendiri, yang mengatur pemetaan tarif UKT, menjadi lebih spesifik di tiap program studi. Dengan aturan ini, bukan hanya UKT yang bisa naik. Pimpinan PT juga dapat menetapkan kenaikan tarif IPI yang besarannya maksimal empat kali besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT) per tahun di tiap prodi. Meski penerapannya diharuskan menggunakan prinsip kewajaran, proporsional, dan berkeadilan, dengan memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa, dan orang tua atau penanggung biaya pendidikan mahasiswa bersangkutan, faktanya tetap saja aturan ini dipandang sewenang-wenang.



Ini adalah potret kapitalisasi pendidikan dalam bangunan Negara kapitalis, dan abainya Negara atas hak pendidikan bagi rakyatnya. Akar masalah mahalnya biaya kuliah yang tidak berujung ini ternyata berawal dari kebijakan pemberian otonomi kampus yang makin besar pada tahun 2012. Saat itu Pemerintah menerbitkan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang mengatur perubahan status PTN menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH). Sebelum swastanisasi ini, pembiayaan PTN di-cover penuh oleh Negara, sehingga beban pembiayaan yang diberikan pada mahasiswa benar-benar bisa ditekan sedemikian rupa. Namun, ketika berubah menjadi PTN-BH, pengelolaan kampus menggunakan paradigma bisnis secara swadaya oleh lembaga. Alhasil keberadaan mahasiswa dihitung sebagai salah satu sumber utama pembiayaan lembaga. Hingga Januari 2024, setidaknya sudah ada 24 PT di Indonesia yang memiliki status PTN-BH. 



Sedangkan yang lainnya masih sedang berusaha menjadi PTN-BH. Status PTN-BH memang seakan menggiurkan. Sebagai PTN-BH, kampus bisa berkreasi memajukan dirinya tanpa pembatasan-pembatasan aturan. Kampus juga dapat menerima dan menggunakan dana dari masyarakat berupa uang kuliah, sumbangan, hibah, dan lainnya tanpa harus menyetor ke kas Negara. Kampus juga diberi kewenangan untuk menentukan tarif dan standar biaya sendiri dengan alasan kemandirian dan pengembangan. Bahkan tidak sedikit kampus-kampus yang rajin membuat riset untuk dijual pada korporasi atau bekerja sama dengan korporasi dalam berbagai bentuknya, seperti beasiswa mengikat, terutama pada prodi vokasi, kerja sama bidang pengembangan ristek, dan lain lain. Termasuk apa yang sempat viral di ITB, yakni pihak kampus bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menawarkan kepada mahasiswa mekanisme pinjaman daring agar dapat membayar uang UKT.



Semangat liberalisasi di PT ini sejalan dengan liberalisasi ekonomi di berbagai sektor, termasuk sektor layanan publik yang makin terbuka sebagai konsekuensi keterikatan Negara pada berbagai perjanjian internasional, khususnya liberalisasi pasar bebas ala kapitalisme global. Dengan spirit ini berbagai PT pun didorong untuk meraih standar kelas dunia atau World Class University (WCU), dengan indikator standar mutu dan akreditasi yang ditetapkan Pemerintah dan lembaga dunia. Alih-alih bisa meningkatkan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian kepada masyarakat, fokus lembaga pendidikan tinggi justru makin jauh dari visi misi pendidikan yang mulia, yang katanya diinginkan Negeri ini. Target mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 dipastikan hanya tinggal mimpi.



Yang tidak kalah menyedihkan, kasus-kasus korupsi di PT kini makin marak terjadi, termasuk kasus penjualan orang dengan modus magang di perusahaan-perusahaan yang ada di luar Negeri. Namun yang lebih membahayakan, paradigma pengelolaan pendidikan tinggi ala kapitalisme ini, justru akan makin mengukuhkan kekuasaan korporasi sekaligus memperpanjang umur penjajahan kapitalisme global di Negeri ini. Semua ini sejatinya wajar terjadi, akibat penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal yang diterapkan di Negeri ini, sistem ini telah memosisikan penguasa menjadi perpanjangan tangan kepentingan para pemodal. Negara dalam sistem ini memang dituntut untuk lepas tangan dalam mengurus rakyat, dan mengelola Negara seperti mengelola perusahaan. Manajemen bisnis diterapkan (reinventing government) dengan dalih demi profesionalisme dan efektivitas pengelolaan, termasuk dalam urusan pendidikan.



Sangat berbeda dengan sistem Islam, Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, yang disediakan Negara dan diberikan dengan biaya murah bahkan bisa jadi gratis. Selain itu, semua mendapat kesempatan yang sama. Semua itu akan terpenuhi dengan jalan menerapkan seluruh hukum Islam secara sempurna, termasuk menerapkan sistem ekonomi dan keuangan Islam yang menjamin masyarakat Islam hidup sejahtera dan penuh berkah, karena Negara memiliki sumber-sumber pemasukan yang sangat besar dan berkelanjutan, seperti kepemilikan umum berupa sumber daya alam (hasil tambang), fai, ganimah, kharaj, jizyah, dan lain lain, yang bisa digunakan untuk modal pembangunan. Seluruh urusan pendanaan, sarana prasarana, dan semua instrumen pendidikan yang dibutuhkan akan mampu dipenuhi oleh Negara. Dengan demikian, lembaga pendidikan dan para pelaksananya bisa benar-benar fokus mewujudkan tujuan pendidikan yang mulia tanpa harus dipusingkan dengan urusan dana.



Sejarah peradaban Islam merupakan role model terbaik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan bagi dunia selama belasan abad. Sampai-sampai universitas-universitas Islam di pusat-pusat kota Khilafah menjadi impian para pelajar dunia. Bahkan ditemukan dokumen surat yang disampaikan George II, Raja Inggris, Swedia, dan Norwegia, kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia, agar para pangeran dan putri mereka bisa mengenyam pendidikan di universitas universitas Islam yang ada saat itu. Sistem Islam ini tegak di atas asas yang sahih, yakni keimanan kepada Allah SWT, sebagai pemilik kedaulatan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini, syariat Islam juga telah menetapkan bahwa penguasa berfungsi sebagai pengurus dan penjaga. Mereka diberi amanah memastikan seluruh hak dasar individu dan komunal rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan, sehingga bisa diakses semua rakyat secara mudah, bermutu tinggi, murah, bahkan bebas biaya. Wallahu a’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar