Harga Beras Melonjak: Rakyat Menjerit, Kebijakan Tak Menyentuh Akar Masalah
Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb., Bd. (Aktivis Muslimah)
Pemerintah secara resmi menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras melalui Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No. 5/2024, yang merupakan revisi dari Perbadan No. 7/2023. Kebijakan ini disebut bertujuan untuk menyelaraskan harga beras dari hulu ke hilir. Namun, di balik alasan ini, terdapat berbagai implikasi yang menyulitkan rakyat.
Penetapan HET ini dianggap sebagai bukti bahwa pemerintah kurang memikirkan masalah mendasar yang dihadapi rakyat. Kenaikan harga beras ini hanya memperberat beban ekonomi masyarakat yang sudah terdampak oleh berbagai tekanan finansial. Pemerintah seolah-olah memandang masalah harga beras ini sebagai persoalan teknis semata, tanpa melihat akar masalah yang sebenarnya.
Kenaikan harga beras yang terus terjadi tidak lepas dari permainan para mafia pangan, terutama korporasi besar yang menguasai pasar dan mampu mengendalikan harga. Kebijakan HET seringkali justru memicu munculnya pasar gelap, di mana harga beras dijual jauh lebih tinggi daripada HET yang ditetapkan. Pemerintah memang melakukan operasi pasar dan pasar pangan murah, tetapi langkah ini seringkali hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakstabilan harga beras. Salah satunya adalah rantai distribusi yang panjang dan melibatkan banyak pelaku, masing-masing mengambil keuntungan sendiri. Semakin panjang rantai distribusi, semakin tinggi pula harga yang harus dibayar konsumen. Selain itu, distorsi harga juga terjadi karena fluktuasi dalam rantai distribusi. Misalnya, meskipun pemerintah mengklaim produksi padi surplus pada 2023, harga beras tetap naik di akhir tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan distribusi pangan masih bermasalah.
Kondisi ini mencerminkan kegagalan sistem kapitalisme dalam tata kelola pangan. Pemerintah, dalam sistem ini, seringkali hanya berperan sebagai regulator, sementara korporasi diberi kebebasan untuk mengendalikan distribusi pangan. Ketika stok beras di Bulog terbatas, korporasi dapat menahan distribusi dan melepasnya ke pasar dengan harga tinggi. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban.
Sebagai alternatif, sistem politik pangan Islam menawarkan pendekatan yang berbeda. Dalam Islam, pangan dianggap sebagai kebutuhan dasar setiap individu yang harus dijamin oleh negara. Negara bertanggung jawab untuk memastikan pangan sampai ke tangan rakyat, dan ketika kebutuhan rakyat tidak terpenuhi, negara akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.
Petani dimuliakan dalam sistem ini karena mereka berperan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan. Negara juga memastikan tidak ada penguasaan terhadap petani oleh pihak lain dan menjaga rantai distribusi dari praktik ilegal. Bahkan, negara menyediakan kadi hisbah untuk mengawasi tata niaga pangan, sehingga masalah-masalah seperti distorsi harga dan permainan mafia pangan dapat dihindari.
Dengan demikian, kenaikan harga beras yang melangit ini bukan sekadar masalah harga, tetapi mencerminkan ketidakmampuan sistem yang ada dalam mengelola pangan dengan baik. Solusi yang ditawarkan oleh sistem pangan Islam bisa menjadi alternatif untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang sesungguhnya, di mana kebutuhan dasar rakyat dipenuhi dan petani dimuliakan.
0 Komentar