Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Dinasti Politik

Demokrasi Langgengkan Politik Dinasti

Oleh:Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


 Pada 23 April 2024 lalu, Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, memasukkan permohonan hak uji materi (HUM) terhadap Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota ke Mahkamah Agung (MA). Perkara dengan nomor 23 P/HUM/2024 tersebut lantas diterima MA pada 27 Mei 2024. Lebih spesifik lagi, Partai Garuda mempersoalkan Pasal 4 Ayat 1 Huruf d dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020. Pasal tersebut mengatur tentang batas umur calon kepala daerah yang bisa berlaga di Pilkada 2024 mendatang, yakni minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta 25 tahun untuk cabup dan cawabup dan cawalkot dan calon wakil wali kota. MA hanya perlu waktu tiga hari untuk memutus perkara tersebut. Pada 29 Mei 2024, MA mengeluarkan putusan yang berbunyi, "Memerintahkan kepada KPU RI untuk mencabut Pasal 4 Ayat 1 Huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.Perkara nomor 23 P/HUM/2024 tersebut diputus oleh tiga hakim, yakni Hakim Agung Yulius selaku Ketua Majelis didampingi dua hakim agung yakni Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi."Benar bahwa berdasarkan sistem informasi administrasi perkara di MA, Perkara HUM dengan register No. 23 P/HUM/2024 Telah putus tanggal 29 Mei 2024 dengan Amar Kabul Permohonan HUM," ujar Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial, Suharto, Kamis (Tirto,id,30/5/2024)

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkritik putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Peraturan KPU tentang batas usia calon kepala daerah. ICW menduga putusan tersebut untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) maju di Pilkada 2024. Kaesang Pangarep yang juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) santer diisukan akan maju di pilkada pada November mendatang. Usia Kaesang baru 29 tahun. Dengan dihapusnya batas usia minimal 30 tahun untuk calon kepala daerah, maka hampir dipastikan Kaesang bisa mancalonkan diri (okezone, 2/6/2024)


Media sosial tengah ramai dengan plesetan Mahkamah Kakak (MK) dan Mahkamah Adik (MA). Keriuhan ini merupakan buntut keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Peraturan KPU tentang batas usia calon kepala daerah. Publik menduga putusan tersebut kental aroma politik, yaitu untuk memuluskan jalan putra bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep untuk maju di Pilkada 2024. Berbagai pihak mengkritik keputusan MA tersebut. Publik juga gaduh mempersoalkannya. Keputusan ini lantas dikaitkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memuluskan langkah putra sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden pada Pemilu 2024 Februari lalu.

Inilah praktik politik dalam sistem demokrasi. Rakyat akan terus disuguhi malapraktik kekuasaan oleh penguasa, tetapi malapraktik itu bisa dibuat menjadi legal dengan mengutak-atik aturan. Hal ini bisa terjadi karena sistem demokrasi memungkinkannya. Demokrasi meniscayakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu. Kekuasaan menjadi alat legitimasi, mengalahkan supremasi hukum. Supremasi hukum yang seharusnya dijunjung tinggi dianggap tidak bernilai dan harus tunduk pada kepentingan dinasti. Sedihnya, politik dinasti ini tidak hanya melibatkan eksekutif (penguasa) dan legislatif (partai penguasa di parlemen), tetapi juga yudikatif (peradilan). Jadilah keputusan hakim tidak lagi objektif, melainkan disetir oleh kekuasaan.

Hal ini berbeda secara frontal dengan sistem pemerintahan Islam. Islam memandang Kekuasaan adalah Amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Asas kekuasaan di dalam Islam adalah akidah Islam sehingga tujuan kekuasaan adalah riayah syu’unil umah (mengurusi urusan rakyat). Penguasa dalam pemerintahan Islam (Khilafah) menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim, bukan untuk kepentingan pribadi dan kroni. Sikap ini lahir dari keyakinan akidah dan menafakuri sabda Nabi yang mulia saw.,

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Dengan asas ini, penguasa dalam Khilafah tidak akan melakukan malapraktik kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya karena para penguasa takut terhadap azab Allah Swt. bagi orang-orang yang mengkhianati amanah kekuasaan. Selain itu, Islam juga memiliki syarat tertentu siapa yang layak menjadi kepala daerah. Dalam sistem Khilafah islamiah memiliki mekanisme yang efektif untuk mewujudkan penguasa yang adil dan amanah. Syarat penguasa di dalam Islam adalah laki-laki, muslim, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu (memikul amanah kepemimpinan). Syarat-syarat ini akan mengeliminasi orang-orang yang tidak layak untuk memimpin, termasuk dari sisi keadilan maupun kecakapan. Seseorang yang rekam jejaknya kerap berkhianat tidak layak menjadi penguasa dalam Islam. Begitu juga orang yang kerap berbohong, fasik, korup, zalim, dan (lebih-lebih lagi) enggan menerapkan syariat Islam. Hanya orang yang memenuhi tujuh syarat itu yang bisa menjadi penguasa.

Islam sudah memiliki mekanisme pemilihan kepala daerah, yaitu Khalifah menunjuk orang yang siap menerima amanah sebagai kepala daerah (wali/amil). Adapun proses seseorang menjadi gubernur (wali) atau bupati/wali kota (amil) adalah melalui penunjukan oleh Khalifah. Khalifah berhak memilih orang yang dia anggap layak memimpin berdasarkan tujuh syarat sah tersebut. Namun, jika dalam perjalanan pemerintahan ternyata wali/amil tersebut bersikap khianat atau berbuat hal-hal yang mencederai tujuh syarat sah pengangkatannya, ia bisa langsung diberhentikan oleh Khalifah, meski dia baru menjabat satu atau dua hari. Pemecatan wali/amil tidak menunggu selesainya masa jabatan lima tahunan.

Rakyat punya peran besar untuk mengawasi dan memuhasabahi penguasa. Rakyat boleh menyatakan ketakridaannya terhadap penguasa yang diangkat untuk mereka. Mekanismenya bisa melalui pengaduan pada khalifah atau mahkamah mazalim. Keduanya akan memutuskan perkara kezaliman yang dilakukan penguasa. Dengan demikian, supremasi hukum dijunjung tinggi. Kekuasaan pun menjelma menjadi kekuasaan yang menolong Islam dan kaum muslim Wallahua’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar