Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Pendidikan Keluarga Berbasis Sekulerisme, Menggerus Fitrah keibuan

 Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)

Kasus pembuatan video vulgar bersama anak kandung marak akhir-akhir ini. Sejauh ini, total ada dua ibu muda yang ditetapkan sebagai tersangka. Adapun, mereka adalah AK (26) dan R (22). Kepada polisi, mereka mengaku nekat melakukan hal itu karena terpedaya iming-iming dari teman Facebook atas nama Icha Shakila. Selain itu Polisi menetapkan AK (26) sebagai tersangka kasus lainnya, karena tidak hanya diminta untuk membuat video vulgar bersama anak kandungnya, tapi juga dengan kakek-kakek. (Liputan6, 7/6//2024)


Fakta menyesakkan ini bukan sekali terjadi. Kasus orang tua mencabuli anak sendiri makin banyak. Padahal orang tua yang seharusnya menjadi tempat berlindung paling aman dan nyaman, justru terlibat dalam kejahatan seksual. Ada ibu mencabuli anaknya, ada bapak merudapaksa anak perempuannya, ada anak mencabuli ibunya, dan masih banyak kasus lainnya. Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan, mengaku prihatin atas banyaknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan orang tua terhadap anak kandungnya. (detiknews.com, 8//2024)


Peristiwa ini mencerminkan gagalnya sistem pendidikan dalam mencetak individu berkepribadian Islam dan siap mengemban amanah sebagai ibu. Di sisi lain, juga menunjukkan lemahnya Negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, sehingga membuat seorang ibu tergoda melakukan maksiat demi sejumlah uang. Maraknya perbuatan asusila (pelecehan seksual) dengan pelaku dari keluarga atau kerabat sendiri tidak terlepas dari faktor yang memengaruhinya. Ada beberapa faktor penyebab seorang ibu seperti R melakukan perbuatan asusila kepada anak kandungnya sendiri.

Pertama, faktor ekonomi. Dalam pengakuannya, R mengaku tergoda melakukan aksi pencabulan kepada anaknya sendiri karena tergiur tawaran uang Rp15 juta. Meski alasan ekonomi, perbuatan R tetap tidak dibenarkan dan haram dilakukan. Didapati dampak buruk akibat perbuatan tersebut, jelas akan berpengaruh pada perkembangan mental anak dan kepribadiannya. Hal ini juga makin menegaskan bahwa himpitan ekonomi bisa membuat siapa pun gelap mata, tidak terkecuali seorang ibu.

Kedua, faktor lingkungan dan sosial masyarakat. Tidak bisa kita mungkiri, sistem kehidupan sekuler telah mendegradasi keimanan individu secara drastis. Hari ini kehidupan masyarakat semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Tontonan, tayangan, film, konten berbau sensual dan tidak senonoh, lebih banyak menghiasi layar HP dan media sosial. Jika hal ini terus dibiarkan, generasi kita akan terancam dan malapetaka rusaknya moral generasi tidak terelakkan.


Ketiga, kesiapan fisik, psikis, dan ilmu sangat dibutuhkan dalam membina rumah tangga. Menikah bukan sekadar bicara cinta dan kesiapan lahiriah, tetapi yang lebih penting adalah kesiapan ilmu yang terbangun saat pernikahan itu terjadi, seperti hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga, komunikasi dengan pasangan, pola pendidikan dan pengasuhan anak, kepemimpinan ayah, serta peran vital ibu sebagai madrasah pertama bagi anak.


Pendidikan keluarga yang berbasis Sekulerisme membuat ibu kehilangan fitrah. Uang menjadi pilihan saat kesejahteraan tidak menjadi prioritas Negara. Merebaknya kasus asusila terhadap anak juga karena tidak adanya perlindungan berlapis untuk anak. Hal ini disebabkan oleh tereduksinya pemahaman tentang kewajiban Negara, masyarakat, dan keluarga, serta tidak diberlakukannya aturan baku di tengah-tengah masyarakat. Inilah akibat kegagalan sistem sekulerisme menyolusi berbagai persoalan karena kesalahan merumuskan akar masalah. 


Maraknya kasus asusila pada anak akibat buah penerapan sistem sekuler liberal, menjadikan keimanan terkikis, peran agama makin terpinggirkan, dan sanksi hukum yang tidak memberikan efek jera menjadikan kejahatan seksual makin beragam. Akibat sekularisme juga kaum muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya. Islam hanya terbatas pada ibadah ritual. Aturan Islam tergantikan dengan hukum sekuler buatan manusia. Aturan inilah yang mendominasi tata pergaulan sosial di masyarakat.


Solusi tepat dalam mengatasi maraknya perbuatan asusila dan pelecehan seksual adalah sistem Islam. Islam memiliki sistem pendidikan yang handal dalam menyiapkan manusia berperan sesuai dengan fitrahnya. Pendidikan dalam sistem Islam menjadikan keluarga pun dilandaskan kepada ketakwaan. 


Islam memiliki sejumlah perlindungan berlapis dalam mengatasi kejahatan seksual, diantaranya : pertama, lapisan preventif, yaitu pencegahan. Islam mengatur secara terperinci batasan-batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yakni (1) mewajibkan perempuan menutup aurat dengan berhijab syar’i (kewajiban berjilbab dan berkerudung di ruang publik); (2) kewajiban menundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempuan; (3) larangan berkhalwat, tabaruj (berhias di hadapan nonmahram), dan berzina; (4) memerintahkan perempuan didampingi mahram saat melakukan safar (perjalanan lebih dari sehari semalam) dalam rangka menjaga kehormatannya; dan (5) memerintahkan untuk memisahkan tempat tidur anak. Kedua, lapisan kuratif, yaitu penanganan. Dalam hal ini, penegakan sistem sanksi Islam wajib terlaksana. Terdapat dua fungsi hukum Islam, yakni sebagai zawajir (memberikan efek jera) dan jawabir (penebus dosa) bagi pelaku tindak kejahatan. Ketika hukum Allah berjalan, tidak ada istilah tawar-menawar bagi manusia untuk menangguhkan hukuman tersebut. Hukum Islam sangat adil memberi ganjaran dan balasan pada pelaku maksiat. 


Ketiga, lapisan edukatif, yaitu pendidikan dan pembinaan melalui sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam. Individu dan masyarakat akan terbina dengan Islam. Syariat Islam sebagai standar perbuatan. Pendidikan Islam juga akan membentuk kepribadian Islam pada generasi. Alhasil, mereka menjadi generasi yang imannya kuat, pemikirannya matang, dan cakap akan ilmu dan amalnya. Laki-laki akan terdidik sebagai pemimpin masa depan dan calon kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Sementara itu, perempuan akan terdidik sebagai calon ibu yang memahami peran domestik dan publik.

Keempat, peran Negara. Semua lapisan tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa peran Negara. Negaralah pihak yang paling bertanggung jawab melaksanakan dan mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi rakyat. Sistem pendidikan dan tata pergaulan Islam tidak bisa terlaksana tanpa kehadiran Negara sebagai pelaksana dan penerap syariat secara kafah.


Negara bisa melakukan kontrol terhadap media serta propaganda yang mengajak pada kemaksiatan. Sudah menjadi tugas Negara untuk menjaga generasi agar berkepribadian Islam serta mencegah mereka melakukan kemaksiatan, baik dalam skala individu maupun komunitas. Demikianlah, Islam memiliki paket lengkap dalam menyiapkan generasi cerdas, keluarga bertakwa, masyarakat terbina, dan Negara yang meriayah. Semua ini hanya bisa terwujud dalam penerapan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah.Wallahu a'lam bisshowab

Posting Komentar

0 Komentar