Oleh: Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Rumah merupakan kebutuhan pokok manusia. Rumah yang aman dan nyaman adalah dambaan setiap orang. Betapa sulit hari ini membeli rumah dengan kiteria perumahan layak huni. Tentu saja hal ini berpengaruh pada tumbuh kembang generasi. Mereka terpaksa harus tinggal di pemukiman kumuh dan harus siap dengan berbagai ancaman. Pemerintah pun berinisiatif untuk menyediakan perumahan melalui program TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat). Program ini diluncurkan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang yang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Namun ternyata program ini menimbulkan polemik. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 perihal pelaksanaan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), menuai penolakan serempak. Tak hanya buruh, pengusaha pun menolak pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5% dan 0,5% dari perusahaan, guna membantu pembiayaan pembelian rumah. Koordinator Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos mengungkapkan, Tapera hanyalah beban tambahan dari sepersekian potongan gaji melalui pembiayaan iuran BPJS kesehatan, pensiun, hingga jaminan hari tua.
Rakyat sudah pontang-panting mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dijamin Negara. Namun Pemerintah masih saja menambah beban rakyat yang berlipat-lipat di tengah ekonomi yang lemah kuadrat dengan iuran Tapera. Harusnya Negara tahu diri serta paham kesulitan dan beban rakyat. Presiden Jokowi telah meneken PP No. 21/2024 yang mengatur tentang Perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam PP tersebut, gaji pekerja di Indonesia seperti PNS, karyawan swasta, dan pekerja lepas (freelancer) akan dipotong 3% untuk dimasukkan ke dalam rekening dana Tapera. Pasal 5 PP No. 21/2024 menyebutkan bahwa peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar. Pasal 7 PP No. 21/2024 juga menjelaskan perincian pekerja yang masuk kategori peserta Tapera adalah calon Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit TNI, Prajurit Siswa TNI, anggota Polri, Pejabat Negara, pekerja/buruh BUMN/BUMD, pekerja/buruh BUMDES, pekerja/buruh BUM swasta dan pekerja yang tidak termasuk pekerja yang menerima gaji atau upah. Dalam PP tersebut, pemberi kerja harus menyetorkan dana Tapera dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. (SindoNews.com, 1/6/2014)
Status kepesertaan Tapera akan berakhir jika telah memasuki masa pensiun bagi pekerja yang telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut. Bagi peserta yang kepesertaannya berakhir berhak memperoleh pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya, paling lambat tiga bulan setelah masa kepesertaannya dinyatakan berakhir. Polemik Tapera sebenarnya sudah bergulir sejak penerbitan PP Tapera pada 2020. Tapera kembali ramai menjadi perbincangan setelah Pemerintah mengubah PP No. 25/2020 menjadi PP No. 21/2024. Meski sebagian besar isinya tidak banyak berubah, tetap saja pemotongan 3% gaji pekerja untuk Tapera sangat membebani rakyat. Pasalnya iuran Tapera hanya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Kebijakan ini ditentang banyak pihak, terutama pekerja. Ada beberapa alasan penentangan kebijakan Tapera. Pertama, menyesakkan pekerja, potongan 3% untuk Tapera makin memperkecil nominal gaji yang diterima mereka. Bukan hanya Tapera, gaji pekerja sejatinya sudah dipotong dengan beragam program, seperti pajak penghasilan (5-35%), jaminan hari tua (2%+3,7% perusahaan), jaminan pensiun (1%+2% perusahaan), jaminan kematian (0,3%), BPJS kesehatan (1%+4% perusahaan), dan Iuran Tapera (2,5% dan 0,5% oleh pemberi kerja). Belum lagi jika kita bicara perihal pemenuhan kebutuhan hidup yang kian meningkat. Gaji pegawai ASN dan para pekerja makin menyusut dipangkas berkali-kali. Negara hanya tahu memangkas sumber penghasilan rakyat tanpa mau tahu kesulitan hidup yang mereka hadapi.
APINDO dalam keterangan persnya menyebut, bahwa iuran 3% untuk Tapera tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari BPJS Ketenagakerjaan. Sementara itu, menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Mirah Sumirat, Pemerintah harusnya yang bertanggung jawab dan berkewajiban menyediakan perumahan bagi rakyat, bukan memotong gaji para pekerja. Ini sama saja memiskinkan para pekerja secara pelan-pelan. Menurutnya, BPJS Ketenagakerjaan yang rutin dibayar para pekerja saja tidak memberikan banyak manfaat dan tidak bisa diklaim karena tidak tahu caranya. Ia mensinyalir dana Tapera akan bernasib sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua, berpotensi menjadi lahan baru korupsi. Tampaknya pemerintah tidak mau belajar dari BPJS Kesehatan, korupsi Asabri, Jiwasraya, dan Taspen. Amburadulnya lembaga Negara tersebut semestinya menjadi pelajaran. Bukan malah membuka peluang muncul masalah baru. (CNBC,1/6/2024)
Sampai disini menunjukkan bahwa gagalnya Pemeritah dalam menyediakan perumahan yang menjadi kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Ini semua akibat sistem kapitalisme yang diterapkan di Negri ini, sistem ini menjadikan Pemerintah hanya sebatas regulator semata. Sedangkan untuk penyediaan rumah yang menjadi keutuhan rakyat diserahkan oleh swasta. Swasta yang berasaskan untung rugi, akan mencari keuntungan sebesar besarnya tanpa mempedulikan nasib rakyat yang serba kekurangan. Tapera juga menjadi bukti Negara tidak memiliki politik penyediaan rumah bagi rakyat dan juga bukti kebijakan zalim, karena memberatkan rakyat di tengah banyaknya potongan dan pungutan untuk rakyat (macam-macam pajak, iuran BPJS), dan Tapera juga bukan solusi untuk kepemilikan rumah, namun menjadi jalan menguntungkan pihak tertentu.
Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam, Islam menjadikan rumah sebagai kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh Negara, karena Negara dalam Islam adalah pengurus rakyat. Islam telah mengatur bahwa Negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok seluruh warganya. Mekanisme jaminan tersebut melalui beberapa tahap. Pertama, Negara mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja mencari nafkah, agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Negara memfasilitasi mereka, misalnya dengan menciptakan lapangan kerja, ataupun memberikan bantuan lahan, peralatan, dan modal. Dengan demikian, Pemerintah menjadikan rakyatnya khususnya laki laki, untuk bekerja agar dapat memenuhi semua kebutuhan primernya, bahkan kebutuhan sekunder dan tersiernya. Kedua, Negara mewajibkan kepala keluarga, ahli waris dan kerabat menyantuni orang yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja. Sebagaimana aturan (hukum) Islam dalam menyantuni makanan dan pakaiannya. Allah SWT. berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saja kalian bertempat tinggal.” (QS Ath-Thalaq [65]: 6).
Rasulullah SAW. juga bersabda, “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh.” (HR Nasa’i).
Ketiga, jika tahap pertama dan kedua tidak bisa terwujud, yang berkewajiban selanjutnya adalah Negara. Dengan menggunakan harta milik Negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau ijtihad untuk kemaslahatan umat, khalifah (sistem Islam) bisa menjual dengan harga terjangkau, menyewakan, meminjamkan, atau bahkan menghibahkan rumah secara cuma-cuma kepada orang yang membutuhkan. Dengan demikian, tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah. Negara juga akan melarang penguasaan tanah oleh korporasi karena akan menghalangi masyarakat memiliki tanah. Rasul SAW. hanya memberi kekuasaan memiliki tanah kepada individu, sebagaimana sabda beliau, “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya ia menanami tanah tersebut atau hendaknya ia berikan kepada saudaranya. Jika ia mengabaikan tanahnya, hendaknya tanah itu diambil.” (HR Bukhari).
Warga Negara juga dapat memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang untuk suatu keperluan, termasuk membangun rumah. Nabi SAW. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Oleh karenanya pemenuhan hajat hidup perumahan yang aman dan nyaman hanya akan terwujud dalam sistem kehidupan Islam, yakni Khilafah Islam. Pada tataran ini kita semua dapat menyaksikan betapa butuhnya Negeri ini pada kehadiran syariat kafah, yakni Khilafah itu sendiri. Lebih dari itu, Khilafah adalah kewajiban yang diamanahkan Allah SWT. kepada kita semua. Wallahu a’lam bisshowab.
0 Komentar