Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Kenapa Muncul Buzzer-buzzer Baper?


Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

  Keberadaan buzzer seiring dengan digitalisasi media tumbuh subur bertepatan dengan kepentingan politik. Merujuk pada kemunculan pencalonan Jokowi-Ahok di Pilkada Jakarta 2012, pegiat media sosial tumbuh subur. Terkordinir dalam satu wadah dan dibiayai demi kepentingan politik. Tugas buzzer juga membuffering seorang atau sekelompok entitas politik. Alhasil dari dukungan buzzer untuk Jokowi-Ahok mampu menumbangkan Gubernur incumbent, Fauzi Bowo.

  Kesuksesan buzzer inilah yang akhirnya dilanjutkan untuk mengantarkan Jokowi menapaki RI-1. Seiring berjalannya waktu, buzzer bayaran tadi agak melebar dari kepentingan opini positif di media sosial. Buzzer pun menyasar musuh politik dan menjatuhkan person atau kelompok tertentu. Puncaknya, ketika buzzer menyerang simbol dan entitas agama (Islam) akhirnya pengguna media sosial di kalangan umat Islam bangkit membela. Mereka pun mewartakan bahwa lontaran buzzer tadi tidak benar. Kemudian dikenallah istilah perang siber (cyberwar).

  Buzzer pun terkotak dalam dua kepentingan politik. Ada buzzer koalisi, sebutan bagi pemuja penguasa.  Buzzer oposisi yang memang bertolak belakang kepentingan untuk menangkal isu dari buzzer koalisi. Tak ayal, media sosial pun terpolarisai menjadi cebonger dan kampreter. Dunia maya di media sosial tidak lagi dipenuhi oleh informasi bergizi dan menyehatkan akal. Lebih pada hujatan, cacian, fitnah, dan penyebaran berita bohong. Pengguna media sosial pun dibuat bingung, karena tidak memiliki kesadaran dan standar dalam memilah informasi.

Kenapa Muncul Buzzer?

  Digitalisasi informasi yang telah memasuki revolusi industri 4.0 juga berimplikasi pada politik. Tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Karena itu kemunculan buzzer-buzzer dalam politik dapat dianalisis sebagai berikut:

Pertama, media digital merupakan sarana manusia untuk memenuhi hajat mendapatkan informasi. Media ini awalnya bersifat umum. Siapapun boleh memakai. Sayangnya, tujuan pemakaian itu terkadang ada yang positif dan negatif. Nah, jika sudah memasuki ranah kepentingan politik seringnya menjadi bias dan sah-sah saja. Halal asal sesuai kepentingan pesanan.

Kedua, kegagalan sistem pendidikan dalam mencetak SDM yang unggul dan bertanggung jawab. Ketika manusia terdesak oleh kepentingan isi perut dan materi kekayaan, buzzer pun siap jiwa raga membela junjungannya. Apapun ditulis. Dibuatkan status. Quote dan meme. Karena ada anggapan “nggak nyetatus nggak dapat fulus. Mampus”.

Jika saja pemerintah berhasil menyiapkan SDM melalui pendidikan, niscaya manusia Indonesia akan memahami bahwa setiap perbuatan pasti mengandung dua unsur: ada dosa, ada pahala. Selama ini alam pikiran SDM Indonesia sudah tercampur dengan pemikiran sekularisme. Hasilnya SDM liar dan mencari peruntungan tanpa takut hari pembalasan.

Ketiga, ketidakadilan dalam perlakuan terhadap aktivis media sosial yang kritis. Ketika aktivis melakukan kritik tajam dianggap melanggar UU ITE, menyebarkan hoax, dan mengancam kepentingan keamanan nasional. Berbeda ketika buzzer koalisi yang sering dilaporkan karena dianggap telah melecehkan agama dan sering memuja junjungannya tidak diapa-apakan. Ada kecenderungan lolos dari hukum. Publik pun menyurahkan kekecewaannya di semua lini media sosial terkait ketidakadilan ini.

UU ITE menjadi pukat harimau untuk menjerat siapapun yang dianggap mengusik kepentingan politik status quo. Padahal tujuan UU ITE diundangkan untuk transaksi keamanan elektronik, bukan kepentingan politik. Dari peristiwa ini publik pun kian sadar bahwa ketidakadilan ini harus dilawan meski dengan satu ciutan.

Keempat, liberalisasi informasi media yang diiringi liberalisasi politik. Platform media sosial kini perlahan menggeser media massa. Alam pikiran manusia sudah terkonsentrasi bahwa untuk mendapatkan informasi cepat harus dari media sosial. Ketika manusia tak memiliki saringan untuk mengetahui informasi yang benar, serta merta informasi itu ditelan mentah.

Liberalisasi informasi ditunjukkan dengan ragam informasi yang semua tersaji. Baik info berbau keagamaan, kemaksiatan, bisnis, politik, kebaikan, dan lainnya. Gaya hidup manusia ingin eksis pun mudah dan diakui oleh yang lainnya. Banyak yang berlomba-lomba mencari pengikut (followers).

Liberalisasi politik ditandai dengan penggunaan semua lini massa untuk membentuk opini publik. Demi kepentingan politik semua bisa disetting. Tak tanggung-tanggung meski mengeluarkan uang segunung. Kinerja setting opini publik ini terstruktur dan sistemik. Disediakan bayaran, jamuan makan, dan undangan makan siang gratis. Liberalisasi politik juga ditandai semakin despotik dan anarkistik penguasa. Kebijakan yang terus membuat masalah dan memunculkan gundah. Sesunggunya liberalisasi politik inilah ujung dari perubahan menuju orde diktator gaya baru.

Kelima, kepentingan bisnis dan politik bertemu. Pegiat media sosial menemukan wahana baru mengumpulkan pundi-pundi uang dari dunia maya. Selain pebisnis yang memang menggunakannya untuk kepentigan omset, politisi juga tak mau ketinggalan. Ada harga yang harus dibayar untuk mencapai tangga karir politik yang tinggi. Pencitraan, puja-puji, bombastis janji-janji, dan jurus mabuk membius pemilih dilakukan sistematis. Publik yang termakan setting opini akhirnya mengiyakan setiap yang diinformasikan.

Bisnis dan politik bukanlah hal baru dalam sistem demokrasi. Pada praktik di negara lain penganut demokrasi hal ini wajar dan lumrah. Dunia memang telah berubah. Digitalisasi informasi mampu merubah cara berpolitik tanpa meninggalkan ideologi yang diyakininya. Cuma beda cara dan gaya untuk berkuasa.

So, Next?

  Selama pemerintah tidak memiliki seperangkat aturan yang jelas dan tegas, buzzer-buzzer baper itu pun tetap bermunculan. Buzzer halal asal demi kepentingan pencerdasan dan menuju masyarakat yang beradab. Pemerintah pun harus tegas melarang segala bentung informasi yang menyesatkan, mengajak kemaksiatan, fitnah, dan ungkapan yang tidak pantas di ruang publik.

  Kontrol yang lemah dari negara juga menambah carut-marut di dunia media sosial. Siapa yang dirugikan dari aktifitas pengabaian urusan media dan informasi ini? Jelas rakyat dan masyarakat secara luas. Bagaimana negeri ini mau unggul dan maju jika informasi yang didapat ialah sampah dan sumpah serapah? Maukah Indonesia terus berpecah belah di dunia maya dan dunia nyata? Sungguh ini butuh solusi sistemik oleh negara yang futuristik. Negara yang mengayomi dan melindungi rakyatnya dari kejahatan buzzer yang baper dan laper.

Posting Komentar

0 Komentar