Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

"DEMOKRASI YANG MENYAKITKAN, SEJARAH YANG TIDAK BOLEH TERULANG"

Oleh: AB. LATIF (Indo Politic Watch)


Demokrasi sebentar lagi akan kembali berpesta untuk kesekian kalinya, menghabiskan uang negara yang hanya akan menghasilkan konspirasi dan bisa membuat rakyat semakin sakit hati. Itulah fakta yang tidak dapat diingkari. Bahkan tidak ada yang menguntungkan sama sekali; yang terjadi malah banyak mengecewakan rakyatnya sendiri. Namun, anehnya banyak kaum Muslim yang masuk dalam perangkap dan jebakan manis demokrasi. Janji manis demokrasi, konon, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, nyatanya hanya menguntungkan segelintir oligarki. Belumkah umat ini menyadari bahwa demokrasi nyatanya adalah buah konspirasi yang dibangun atas kepentingan partai bersama para oligarki?


Tidak ada lawan yang abadi, tidak ada kawan yang abadi; yang ada hanyalah kepentingan yang abadi, itulah demokrasi. Siapa saja bisa menjadi lawan ketika berseberangan pemikiran, dan sebaliknya siapapun bisa menjadi kawan ketika ada kesamaan kepentingan. Tidak peduli apa dan bagaimana mereka sebelumnya, apakah mereka itu dulu bekas lawan atau kawan, ketika kepentingan sejalan, konspirasi pun dijalankan.


Fakta ini bisa dilihat saat menjelang Pilpres 2019 lalu. Para pendukung salah satu kandidat begitu semangat, karena menganggap calon itu seolah pahlawan rakyat yang sangat diharapkan bisa mengakhiri ketidakadilan, kedzoliman, dan kesewang-wenangan. Mereka mengorbankan hartanya, waktunya, tenaganya, hanya untuk kemenangan junjungannya. Ratusan nyawa hilang, ribuan manusia dalam pesakitan. Banyak pendukung yang dikriminalisasi, dan banyak yang masuk dalam jeruji besi, semua hanya untuk sepasang singa yang diharapkan mampu mengubah keadaan di negeri ini. Namun, apa yang kemudian terjadi? Sebuah pengkhianatan dan konspirasi yang menyakitkan hati.


Harapan tinggal harapan, impian tinggal impian. Ketegasan yang dipertontonkan laksana singa kelaparan ternyata hanya seekor kucing yang tunduk pada sang tuan. Para pendukung ditinggalkan seraya merapat dan bermesraan bersama sang lawan. Sungguh ini tontonan yang sangat menyakitkan. Sia-sialah pengorbanan, sia-sialah perjuangan yang selama ini diberikan. Lalu apakah hal ini akan terulang?


Mari kita coba dulu membuka lembaran kelam, cerita singa yang kelaparan yang diusung untuk mengubah keadaan. Setelah pencalonan telah ditetapkan, hiruk-pikuk semangat dikobarkan. Semangat perjuangan pemilihan pun dipertontonkan di berbagai media sosial. Dukungan pun mengalir dari berbagai golongan, semua berharap akan ada perubahan. Lalu apa yang terjadi pasca pemilihan? Walaupun disinyalir ada banyak kecurangan, itulah keputusan. Setelah terlempar dari panggung politik lima tahunan, dengan banyak kerugian, konspirasi pun dijalankan. Sebuah pengkhianatan terjadi karena sekerat tulang jabatan. Inilah pengkhianatan yang menyakitkan. Lalu apakah hal ini juga akan terulang?


Setelah sang calon mengkhianati umat dengan sekerat tulang kekuasaan yang diberikan. Tidak hanya itu, pasangannya pun yang sebenarnya masih diharapkan, ternyata juga mengikuti jejak sang tuan. Mereka berfikir bahwa sang calon hanyalah pengecualian, namun faktanya sama-sama mengecewakan. Lihatlah pasca pengkhianatan itu terjadi, mereka pun berkonspirasi untuk kemudian mendukung dan mengesahkan Undang-Undang dzolim yang hanya menguntungkan para oligarki. RUU Omnibus Law yang banyak ditentang kemudian disahkan atas dasar kepentingan. Inilah fakta nyata dalam demokrasi; lawan bisa jadi kawan, sementara kawan bisa menjadi lawan. Karena sesungguhnya mereka berjuang hanya untuk kepentingan. Masihkah kita berharap perubahan dalam demokrasi yang nyata-nyata menyesatkan?


Pesta lima tahunan itupun segera kembali akan digelar. Kontestan para pasangan calon pun sudah ditetapkan. Anggaran negara sebesar Rp. 76.000.000.000.000 (76 trilliun rupiah) sudah ditetapkan dan didistribusikan. Kekuatan para calon pun sudah bisa diperkirakan. Bahkan banyak lembaga survei telah memberikan gambaran hasil perolehan suara dukungan. Tetapi semua sudah faham bahwa kuatnya dukungan tidak menjamin kemenangan. Ada kandidat yang sekuat tahun 2019, baik secara pemikiran, potensi, dan pengalaman, serta dukungan yang begitu besar ternyata juga terlempar. Karena pada hakikatnya, pemenang itu sudah dipersiapkan walaupun dengan kecurangan. Lalu adakah yang menjamin bahwa kecurangan tidak terulang? Apakah ada yang menjamin hal yang sama di tahun 2019 tidak terulang?


Sadarlah bahwa itulah demokrasi, kepentingan pribadi dan partai lah yang menjadi tujuan mereka, sementara rakyat hanya akan menjadi korban keserakahan. Maka sangat aneh dan konyol jika ada umat yang berjuang mati-matian hanya untuk membela demokrasi yang nyata-nyata bukan berasal dari Islam. Membela demokrasi yang nyata-nyata buah dari konspirasi antara partai dan oligarki. Itulah fakta demokrasi yang nyata-nyata tak mampu memberikan kead


ilan dan kesejahteraan. Alih-alih memberikan keadilan dan kesejahteraan, yang terjadi malah meningkatnya pajak dan retribusi, korupsi, dan penjualan aset negeri atas nama investasi. Belum lagi bertambahnya utang luar negeri, pencabutan subsidi, dan siapa yang akan menanggung semua ini? Kembali rakyat yang akan menerima beban hidup yang semakin tinggi. Inilah demokrasi yang menyakitkan hati, fakta sejarah yang tidak boleh terulang lagi.


Islam, agama yang sempurna, menjelaskan tentang konsep kesejahteraan hidup manusia. Konsepsi kesejahteraan dan kebahagiaan (falah) mengacu pada tujuan syariat Islam dengan terjaganya 5 prinsip dalam maqashid syari’ah, yaitu terjaganya agama (ad-ddin), terjaganya jiwa (an-nafs), terjaganya akal (al-aql), terjaganya keturunan (an-nasl), dan terjaganya harta (al-mal). Islam pun menjelaskan konsep pemilihan khalifah dari syarat-syarat calon khalifah, pencalonannya, sampai tahap pembaiatannya. Dan semua itu tidak memakan biaya yang tinggi. Masihkah kita tidak mau menerima Islam sebagai jalan hidup kita?


Demokrasi yang menyakitkan akan selalu terulang dan terulang lagi jika kita tetap mengambilnya sebagai jalan hidup ini. Oleh karena itu, buanglah demokrasi, tinggalkan sistem jahiliyah ini, karena jelas-jelas merusak negeri. Demokrasi bukan jalan Islam, dan Islam bukan demokrasi. Karena demokrasi diambil dari Yunani yang dikembangkan oleh Plato, Aristoteles, Montesquieu, dan tokoh kafir lainnya, sementara Islam di bawah oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan wahyu pencipta alam yang menjamin kesejahteraan. Tinggalkan demokrasi, maka sejarah yang menyakitkan tidak akan terulang lagi.

Posting Komentar

0 Komentar