Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

AS BUNUH JENDRAL IRAN: PERANG DUNIA III?


Oleh : @ Iwan januar

Terbunuhnya Jenderal Iran Qossem Soleimani oleh serangan drone AS ke Baghdad Irak, 3 Januari kemarin. Menaikkan tensi konflik di kawasan Timur Tengah. Teheran langsung bereaksi keras atas serangan tersebut. Apalagi yang terbunuh adalah pimpinan Garda Revolusi Iran, pasukan elit yang dibentuk Teheran pasca revolusi menggulingkan Shah Iran di tahun 1974.

Upacara pemakaman besar diadakan, dan pidato-pidato perlawanan terhadap Amerika Serikat digaungkan. Bendera-bendera merah sebagai simbol perang sudah dikibarkan saat upacara pemakaman. Perang besar melawan AS sang ‘big evil/setan besar’, begitu panggilan AS dari Ayatullah Khomeini, seperti sudah di depan mata. Karenanya tagar WWIII alias Perang Dunia ke-3 sempat jadi trending topic di medsos. Namun apa iya bakal terjadi perang besar antara AS kontra Iran? Ada baiknya disimak pasang surut hubungan AS dengan Iran sepanjang masa.

Beda Pada Irak
Bagi yang mencermati hubungan AS dengan Iran memang seperti panas-dingin. Namun sebegitu jauh, sebenarnya tak pernah terjadi perang besar atau konflik serius antara keduanya. Beda sikap antara AS terhadap Irak dan Afghanistan. Permusuhan AS pada Irak nyata ditumpahkan dalam dua babak; embargo dan agresi militer.

Setelah rezim Irak menginvasi Kuwait di bulan Agustus tahun 1990, AS menekan PBB untuk menjatuhkan sanksi pada Irak. Tidak tanggung-tanggung dikeluarkan 13 resolusi terhadap Irak. Termasuk embargo suplai makanan dan obat-obatan. Akibatnya sekitar setengah juta lebih anak-anak Irak tewas mengenaskan karena kekurangan pangan dan obat-obatan, sebagian yang selamat tumbuh tidak normal seperti alami stunting.

Setelah kejadian yang kerap disebut sebagai Perang Teluk II, ekonomi Irak semakin remuk karena embargo dari PBB. Ekonomi Irak merana, inflasi Irak membengkak sampai angka 396,4 persen.

AS tidak puas. Pada 19 Maret 2003, tepat setelah ledakan mulai mengguncang Baghdad, ibu kota Irak, pengumuman penting disampaikan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Lewat tayangan televisi, Bush menyampaikan pada rakyatnya bahwa pasukan AS dan koalisi, terutama dari Inggris, sedang dalam tahap awal operasi militer bertajuk _Operation Iraqi Freedom_ atau _Operasi Pembebasan Irak_. Ia mendeklarasikan perang terhadap rezim Saddam Hussein.
_"Untuk melucuti (senjata) Irak, membebaskan rakyatnya, dan dunia dari bahaya besar,"_ itu dalih yang dikemukakan Bush kepada warga AS. Fasilitas senjata pemusnah massal (_weapon mass_) dilacak untuk dihancurkan.

Korban warga sipil yang tewas menurut laporan _Just Foreign Policy_, sebuah organisasi non partisan di AS, mencapai satu juta jiwa. Sementara laporan resmi pemerintah AS jauh lebih kecil, hanya sepersepuluh dari angka itu. Belum lagi yang masuk kam-kam penyiksaan seperti Abu Ghuraib yang fenomenal. Penjara tempat pasukan AS menyiksa siapa saja yang dicurigai sebagai pengikut Saddam. Sampai sekarang AS tidak melepaskan cengkraman mereka pada Irak.

Beda Pada Iran
Hubungan politik AS dengan Iran tidaklah seperti yang nampak di konflik-konflik di pemberitaan. AS punya sikap khusus pada Iran. Kedua negara beberapa kali bersitegang termasuk lancarkan serangan militer, namun tak ada dalam skala besar sebagaimana operasi Badai Gurun di Irak, atau perang melawan Taliban di Afghanistan.

Faktanya, AS dan Iran beberapa kali bekerja sama dalam agenda politik dan militer. Yang paling hot dan melegenda adalah skandal _Iran Contra_ pada Oktober 1980, Iran melakukan barter tawanan warga AS di Teheran dengan timses Ronald Reagen untuk kepentingan pemilu melawan Jimmy Carter, dengan imbalan senjata antitank dan uang US 40 juta untuk melawan Irak. Terjadi kesepakatan, Carter tumbang karena popularitasnya merosot akibat gagal melepaskan sandera, dan Reagen naik ke tampuk pemerintahan. Bush senior yang jadi timses diangkat jadi wapres sementara, dan William Casey naik jadi direktur CIA sekaligus untuk menghapus jejak skandal. Peristiwa ini dibuat film oleh Ben Aflleck dengan titel _Argo_.

Iran juga sekutu AS dalam sejumlah operasi militer. Di antara perwira Iran yang terlibat adalah Jenderal Qasem Suleimani! Ia membantu AS dalam operasi penghancuran Taliban. Beberapa hari setelah tragedi 9/11, Pejabat Senior Gedung Putih, Ryan Crocker, secara rahasia pergi ke Jenewa untuk menemui sejumlah diplomat Iran, di antaranya adalah Jenderal Qassem Suleimani yang oleh Crocker dipanggi dengan nama ‘Haji Qassem’. Crocker menyatakan kalau Haji Qassem sebagai sosok yang fleksibel, alias pragmatis. _“You don’t live through eight years of brutal war without being pretty pragmatic,”_ kata Suleimani (https://www.washingtonpost.com/politics/2020/01/03/when-united-states-qasem-soleimani-worked-together/).

Hubungan Iran dan AS sempat memburuk setelah pemerintah Bush mengeluarkan daftar _evil axis_, dimana Irak, Iran, dan Korea Utara masuk di dalamnya. Namun beda sikap terhadap Irak, AS tidak melakukan tindakan agresi militer terhadap Iran. Colin Powell mengatakan, _“Kami tidak memiliki rencana menyerang Korea Utara, atau terlibat konflik dengan Iran_.”

Bahkan AS kembali bekerja sama dengan Iran dalam memerangi ISIS. Di antara perwira Iran penghubungnya; lagi-lagi Jendral Suleimani! Jadi Haji Qassem bukanlah orang asing bagi AS. ia berkali-kali terlibat kerjasama dengan sang _‘big satan’_(https://www.npr.org/2020/01/03/793229284/qassem-soleimanis-enduring-legacy-across-the-middle-east).

AS dan Iran memang beberapa kali terlibat konflik bersenjata. Misalnya Pada 3 Juli 1988, pesawat penumpang Iran Air ditembak jatuh oleh kapal perang AS USS Vincennes, menewaskan 290 orang di dalam pesawat yang sebagian besar adalah jemaah haji.

AS juga kerap menekan Iran dalam program non-proliferasi nuklir. Misalnya di tahun 2002 sanksi dijatuhkan oleh PBB, AS dan Uni Eropa yang menyebabkan mata uang Iran kehilangan dua pertiga nilainya dalam dua tahun. Namun tak ada tekanan yang demikian agresif pada Iran sebagaimana pada Irak atau Afghanistan. Tak ada embargo mematikan seperti pada Irak, apalagi invasi militer.

Perlakuan AS pada Iran adalah politik pragmatis. Iran membutuhkan AS karena di Teluk mereka nyaris sendirian. Negara-negara Arab mayoritas Sunni kurang bersahabat, sementara Iran pun menghadapi ancaman kelompok militer seperti Taliban atau ISIS. Maka bekerjasama dengan AS merupakan langkah teraman.

AS pun membutuhkan Iran untuk menjadi buffer berbagai kepentingan AS di Timur Tengah. Bila Israel dipelihara untuk instabilitas Teluk, maka Iran sebagai sekutu penyangga seperti menghadapi kelompok Islam yang tak berafilial ke negara Arab manapun, terutama yang memperjuangkah Khilafah Islamiyyah. Karena AS paham doktrin Syiah Iran bertentangan dengan konsep kekhilafahan ahlus sunnah wal jama’ah, maka Iran bisa menjadi salah satu penyangga.

Serangan AS ke Iran sebagai balasan atas dugaan Iran berada di balik serangan dua kapal minyak di Teluk Oman, tuduhan yang disanggah Teheran, Juni 2019, bisa jadi _gimmick_ Trump untuk berbagai kepentingan. Pertama, pengalihan isu dan menaikkan popularitas setelah usulan pemakzulan dirinya. Persis serangan yang dilakukan Clinton ke Irak pada Desember 1998 setelah terlibat skandal Monica Lewinsky. Kedua, bisa jadi untuk menaikkan harga minyak dunia agar tidak terus merosot. Ketiga, bisa jadi memberi pelajaran pada Iran agar tidak mengganggu kepentingan AS di Teluk, misalnya mencoba untuk dominan di Irak yang notabene di bawah kendali AS.

Tewasnya Suleimani alias Haji Qassem, hanyalah tumbal relasi pragmatis Washington – Teheran. Percayalah, Iran takkan melancarkan serangan besar-besaran pada fasilitas atau kepentingan AS di kawasan Teluk, apalagi membombardir habis-habisan Israel. Hanya terjadi riak-riak bersenjata atau bisa jadi perang urat syaraf belaka, adu gertak dan gimmick.

Sebagaimana AS pun takkan lancarkan serangan habis-habisan ke Iran atau Irak, seperti ke Operasi Badai Gurun. Selain Iran adalah sekutu AS, ekonomi dalam negeri mereka juga tak memungkinkan untuk melancarkan perang besar-besaran. Untuk menghadapi konflik Suriah saja, AS menjadikan Turki sebagai pion mereka untuk menghadapi Suriah, Rusia, Iran dan China. AS sudah hampir kehabisan bahan bakar untuk melakukan operasi militer.

Apakah intelijen AS tidak tahu ada sekutu dekat mereka, Suleimani di sana lalu jadi korban? Bisa jadi tidak tahu, atau bisa jadi tahu dan tetap dilancarkan serangan sekaligus menutup cerita kerja sama di antara mereka. Nasib Suleimani sama seperti Saddam Husayn ataupun Qadhaffi. Hanya pion politik belaka.

Tagar Perang Dunia III sengaja dimainkan media massa yang partisan pada Trump untuk menaikkan lagi popularitasnya. Lalu diikuti oleh netizen yang termakan permainan bidak politik AS di kawasan Teluk. Wallahualam.

#Iran #AS #KrisisTeluk

Posting Komentar

0 Komentar