Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Ning Maharani, Manuver Politik Bersama Putra Kiai?

 


Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)


  Ketua DPR RI Puan Maharani bersilaturahmi dengan kiai-kiai muda pengasuh sejumlah pondok pesantren se-Jawa Timur. Puan Maharani mendapatkan julukan 'Ning Maharani' dari para gus yang hadir bersilaturahmi.


  Pertemuan bertajuk Ta'aruf Mbak Puan dengan Para Gus (Gawagis) ini berlangsung secara informal di Surabaya, Rabu (15/6) malam. Silaturahmi juga diisi dengan perbincangan hangat penuh guyonan khas Nahdlatul Ulama (NU). (https://news.detik.com/berita/d-6130239/saat-puan-dapat-julukan-ning-maharani.)


  Bukan Puan kalau tak pandai mengambil hati media dan kaum perempuan. Baru-baru ini juga mengusulkan agar cuti perempuan hamil dan melahirkan menjadi 6 bulan. Tak hanya itu, proses politiknya pun mencuri perhatian. Berangkat ke Arab Saudi bertemu Liga Muslim Dunia berharap museum Nabi Muhammad di Indonesia segera rampung.


  Pertanyaan penting, apakah ini tanda bahwa pemilu kian dekat? Kemudian kepada umat Islam yang menjadi konstituen kian dekat? Pola komunikasi politiknya pun kian merapat kepada kunci umat.


Posisi Putra-Putri Kiai


  Sudah jamak diketahui di kalangan umat Islam, jika kedudukan kiai menempati posisi atas dalam hierarki keagamaan. Kiai begitu dihormati. Hal ini pun turun kepada putra-putra kiai yang disebut ‘Gus’. Saat ini Gus juga menjadi elemen kedua yang masih muda dan energik. Generasi yang berbeda dengan ayahnya.


  Gus bisa jadi lebih melazimi masa saat ini. Posisi yang sama dihormati bisa menjadi modal menggaet anak masa kini. Kecerdikan politisi menggaet ‘Gus Muda’ yang berjiwa. Ini harus diwaspadai jika tak memiliki kecerdasan ala politisi.


  Ulama sesungguhnya pewaris nabi. Selayaknya estafet itu berturun kepada putra-putrinya. Posisi inilah yang tidak bisa dilupakan oleh Gus dan Ning yang di pundaknya terdapat tanggung jawab menjaga Izzul Islam wal Muslimin. Gus dan Ning menjadi pelita bagi generasi yang sezaman dengannya. Menunjuki umat dengan Quran dan Sunnah. Berada di garda terdepan dalam pembelaan Islam.


  Meski demikian, jika Gus dan Ning terjun ke dunia politik, seyogyanya memiliki pandangan yang khas. Politik (siyasah) yang terdapat di kitab kuning pada penjelasan Fiqh Siyasah (Fiqh Politik). Siyasah yang bermakna mengurusi urusan umat dengan syariah. Siyasah yang berarti menjaga agama dan mengurusi dunia dengan aturan Allah SWT.


  Gus dan Ning harus hati-hati, jika politik demokrasi berbeda dengan politik Islam. Ini berbicara tak sekadar hubungan jamaah dengan Kakek Ning Maharani. Lebih dari itu, apa sebenarnya politik demokrasi dan manuver dari politisinya? Demokrasi merupakan sistem politik yang berasas pada sekularisme dan liberalisme. Demokrasi bukanlah Islami. Lahir dari pemikir Barat dan gagasan yang tidak bersumber dari quran dan sunnah. 


Politik ‘Ning Maharani’


  Puan Maharani dengan sebutan ‘Ning’ meski dianggap guyonan tapi ini menjadi label khusus. Guyonan politik bisa jadi keseriusan. Lantas bagaimana analisis dari politik Ning Maharani dengan mendekat kepada umat melalui putra kiai?


Pertama, tabiat demokrasi mudah merubah bentuk wajah. Tampilan luarnya tak menunjukkan dalamnya. Tak ada pancaran ‘inner beauty’ dalam politik demokrasi. Karena memang sekularisme, maka wajah menyesuaikan kepentingan. Tatkala bertemu dengan agamawan, tampilannya rupawan. Tatkala berjumpa dengan milenial, tampilannya samaan.


Kedua, label ‘Ning’ menjadi legitimasi Puan Maharani mendekatkan diri kepada kelompok Islam. PDI-P bukanlah partai berbasis agama, namun nama Soekarno kerap dibawa ke mana saja. Nama Soekarno sebagai Bapak Bangsa dan Presiden Pertama Indonesia dalam sejarah, tak muda dilupakan siapa pun. Hubungan Soekarno dengan kelompok keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya menjadi memori untuk diulang kembali.


Ketiga, pendekatan kepada kiai, gus, dan pesantren di Jawa Timur menandakan bahwa basis pemilihnya masih kalangan tradisionalis. Kelompok kelas masyarakat yang ‘anut grubyuk’. Ikut dawuhe kiai. Hal ini jamak di kalangan pesantren dan akar rumput di Indonesia.


Keempat, komunikasi politik untuk meraih hati masyarakat awam dengan simbol keagamaan menjadi modal murah. Pasalnya, gerbong tokoh agawaman begitu banyak. Agamawan dalam alam demokrasi dianggap simbol suci. Padahal, pada sejarah kelahiran demokrasi, lahirlah (sekularisme) ide pemisahan gereja dengan pemerintah. Hal ini tampaknya sama. Urusan politik dianggap dunia. Sementara agama hanya dalam hati dan ritual.


Kelima, menjadi sinyal bagi lawan politik yang selama ini diisukan didukung kelompok ‘radikal, ‘intoleran’, dan ‘anti kebhinekaan’. Simbol dukungan ini akan semakin menguat menjelang kontestasi pemilu mendatang. Isu-isu keagamaan akan disulut dan dibesar-besarkan. Jadi publik harus paham, manuver ini untuk menjauhkan rakyat dari kesakitan atas kedzaliman kebijakan yang menyengsarakan.


  Oleh karena itu, pengarusan politik demokrasi dengan menggandeng kiai, gus, dan ning menjadi tanda jahat demokrasi. Politisi demokrasi hanya berkepentingan ketika pemilu datang. Selanjutnya, rakyat itu ditinggal dalam nuansa kebatinan yang penuh dengan ketidakpastian. Percaya?


  Ini juga bisa menjadi momentum kesadaran bagi umat Islam untuk kembali kepada politik Islam yang agung. Politik yang bermakna mengurusi urusan umat, baik dalam negeri ataupun luar negeri dengan syariah Islam. Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Politik yang tidak membodohi, tapi politik yang menyelamatkan jutaan umat manusia.

Posting Komentar

0 Komentar