Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Road to 2024 (4): Jalan-jalan Anies, Akhirnya Manis atau Dilematis?

 


Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)


  Anies Baswedan digadang sekaligus dihadang. Perjalanan Anies pasca Gubernur DKI Jakarta ternyata ingin naik kelas menjadi Presiden Indonesia. Jabatan politik tertinggi dalam urusan dunia. Siapa sih yang tak kepincut menjadi Presiden? Sekelas Ketua Umum Partai Politik aja mencalonkan diri berkali-kali. Apalagi Anies yang meniti karir dari akademisi yang berakhir sebagai politisi.


  Keunikan Anies semenjak masuk dalam kontestasi Pilgub DKI 2017 hingga pencapresan 2024 ialah dia bukan kader partai. Praktis Anies sementara menjadi ‘orang merdeka’ karena bisa berlabuh di mana saja sesuai partai pengusungnya. Inilah nilai Anies yang jauh dari kesan ‘petugas partai’. Namun, siapa sangka ke depannya politik mudah berubah. Manuver Anies pun ciamik dan dielu-elukan pendukungnnya.


  Anies yang dikenal aktivis sejak Mahasiswa menunjukkan loyalitasnya dalam dunia pergerakan dan organisasi. Semenjak kuliah di UGM hingga rektor di Universitas Paramadina. Jalan karir Anies ditempuh dari bawah. Tidak tiba-tiba muncul atau diidolakan kaum itu-itu saja. 


  Anies sendiri juga turut berperan dalam pemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Anies menjadi tim sukses bersama akademisi lainnya. Promosinya tentang Jokowi luar biasa yang akhirnya dia diganjar menduduki Menteri Pendidikan. Pasca tidak menjabar Mentri Pendidikan, peluang masuk dalam bursa pemimpin Indonesia. Perlu diketahui, untuk mudah menuju tangga Istana Negara, jalan yang dilalui ialah menang sebagai Gubernur DKI Jakarta. Seperti yang ditempuh oleh Presiden Joko Widodo.


Historis Anies


  Jika mengamati kembali Anies bisa mencapai puncak DKI-1 bersama Sandiaga Uno menjadi poin penting ke depan. Anies telah memiliki modal politik, khususnya didukung kalangan Islamis. Karenanya muncul politik identitas yang merujuk pada ‘Politik Islam’. Meski identitas itu melekat pada baju dan dukungan kepada pemimpin beragama Islam.


  Pada titik inilah pertarungan sengit di dunia nyata dan dunia maya. Dunia maya ramai dengan polusi perang meta digital. Media sosial dimanfaatkan untuk kampanye dan meraih dukungan. Pro dan kontra di antara kedua pendukung. Politik seru dan ricuh. Inilah etalase politik dalam bingkai demokrasi yang melepaskan agama dalam pengaturannya. Siapa pun bisa saling mencaci maki. Siapa pun bisa saling menyudutkan tanpa nilai dan standar syariah Islam. Politik penuh kebebasan yang berujung kebablasan.


  Dukungan langsung kelompok Islamis kepada Anies belumlah memudar. Hal ini karena dipundak Anies ada tumpuan menjadi Presiden ke depan. Namun demikian, modal dukungan Partai Politik itulah yang terpenting. Jika Anies seorang diri, tentu tak akan mampu menaiki bursa pencapresan. Apalagi jika dibandingkan dengan lainnya yang sudah menjadi kader partai.


  Sebenarnya sangat mudah menjadi kader partai untuk mendapatkan kartu anggota. Langkah ini akan ditempuh Anies pada partai yang siap mengusungnya sebagai Capres. Secara elektabilitas survey, posisinya masih mendapatkan nilai yang meyakinkan. Nasdem sudah mendeklarasikan Anies sebagai Calon Presiden. Disusul organisasi underbow PPP yang juga mendukung Anies maju capres.


  Kalkulator politik bisa saja hitung-hitungan berubah. Sebab ada sandungan Presidential Treshold yang harus dipenuhi. Tak mungkin satu partai bisa mengusung Capres-Cawapres tanpa berkoalisi dengan partai lainnya. Semenjak Nasdem mendeklarasikan Anies Capres, istilah ‘kadrun’ pun disematkan. Padahal posisi Nasdem partai koalisi pendukung pemerintahan. Surya Paloh masih mengakui jika Jokowi adalah presiden Nasdem.


  Partai Demokrat pun mencoba komunikasi politik dengan Nasdem. Berharap AHY bisa menjadi pendamping Anies. PKS pun berhitung, namun Nasdem, PKS, dan Demokrat batal deklarasi koalisi. Akibat ada wacana bandar yang mencuat terkait oligarki yang berkepentingan dibalik pendanaan kontes Capres-Cawapres.


  Di antara belum sepakat antar partai berkoalisi, Anies tetap memiliki cara sendiri. Posisinya sebenarnya tidak aman. Bisa jadi ketika pendeklarasian ke depan malah menjadi Calon Wakil Presiden. Semua bisa terjadi dalam perpolitikan yang penuh ketidakpastian.


  Bagaimana peluang Anies ke depan. Ada beberapa hal penting yang patut jadi perhatian: 


Pertama, isu politik identitas kian mencuat. Seolah politik identitas ini berbahaya karena ingin menjadikan Indonesia berkultur Islam. Padahal setiap politik memiliki identitas. Kalau bukan politik Islam berarti politik sekular liberal. Padahal pembahasan politik identitas ini sebenarnya bukan milik kelompok dan agama tertentu.


Kedua, kelompok Islamis yang selama ini mendukung Anies kian mendapatkan ruang aktualisasi. Sosoknya diharapkan mampu mengayomi, menyejukkan, dan membawa aspirasi umat Islam. Terlebih kesuksesan di Jakarta menjadi modal dukungan politik.


Ketiga, partai-partai yang belum mendeklarasikan calon presiden, hasratnya menurun untuk menawarkan calonnya menjadi cawapres. Hal ini hitung-hitungan modal politik dan dukungan publik. Partai pun tak ingin bunuh diri dalam mengusung Capres-Cawapres. Sebab pemilu 2024 tak hanya perebutan kepentingan individu politisi tapi juga bertarung melawan oligarki.


Keempat, capres 2024 juga tak bisa lepas dari kepentingan oligarki. Baik tampak atau sembunyi-sembunyi. Terlebih lagi, Presiden terpilih akan melanjutkan pembangunan IKN di Nusantara. Oligarki politik dan ekonomi tak ingin kepentingannya terusik. Presiden baru pun tampaknya tak berkutik. Sebab beralasan ini melanjutkan keputusan Presiden sebelumnya.


  Posisi Anies masih terbilang dilematis. Pemilu masih akan berlangsung dua tahun ke depan. Perubahan di tengah jalan sangat memungkinkan. Siapa mendukung siapa. Siapa mendapatkan apa. Bagaimana komunikasi dan pola politik di antara pemutus kepentingan politisi elit.


Pesan Penting untuk Rakyat


 Pemilu 2024 bisa jadi ajang siapapun untuk mencari untung. Model sistem politik demokrasi didesain sekadar berganti orang dalam kepemimpinan. Tak bisa merubah sistem kebangsaan dan kenegaraan. Padahal, Indonesia yang tak baik-baik saja ini butuh solusi mendasar untuk menyelesaikan persoalan yang sudah mengakar.


  Siapapun yang berkontestasi bisa jadi umat Islam sekadar penonton bukan penentu. Suara emasnya digunakan untuk menentukan di bilik pemilihan. Selanjutnya, suara itu dibungkam tak boleh diperdengarkan. Karena suaranya keras dan penuh keributan. Umat Islam dalam atmosfir demokrasi tak akan bisa bersensasi. Nasibnya naas yang ujungnya terlibas dan tertinda.


  Oleh karena itu, pemahaman umat terkait politik harus diarahkan kepada politik Islam. Politik yang memiliki identitas khas yaitu mengurusi urusan umat dengan syariah kaffah. Politik yang bukan akal-akalan, karena berdasar pada kewajiban untuk menaati Allah dan Rasulnya. Politik Islam inilah yang bisa menyelamatkan umat manusia. 


  Kepada Pak Anies Baswedan yang sudah siap menjadi Capres 2024, pikirkan baik-baik kembali. Tidak mudah menjadi pemimpin Indonesia. Anda akan berhadapan dengan oligarki kelas kakap dan politisi licik yang siap menerkam. Karenanya, jika Anda tidak mengambil politik Islam dalam kepemimpinan Indonesia ke depan, artinya Indonesia sama saja: ‘berada dalam kungkungan oligarki dan politisi yang terus mengakali’. Kasihan rakyat Indonesia jika seperti ini akan terus merana.

Posting Komentar

0 Komentar