Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Perpu Cipta Kerja Terbit, Demi Siapa?


Oleh: M. Za'far A.


Sebelum tahun 2022 berakhir pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang no.2 tahun 2022 tentang cipta kerja (Perpu Ciptaker), tepatnya pada tanggal 30 Desember 2022. Ini bisa dikatakan kado pahit akhir tahun untuk rakyat Indonesia. Bagaimana tidak dalam perpu ini ternyata banyak hal yang justru merugikan masyarakat.


Terbitnya Perpu ini memang sangat tidak wajar karena hakikatnya tidak ada persoalan mendesak sehingga pemerintah butuh mengeluarkan Perpu. Padahal dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pemerintah boleh mengeluarkan perpu jika ada kegentingan yang memaksa. kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat.


Tiga syarat yang dimaksud adalah pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan kendala yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.


Pemerintah mengeluarkan perpu dengan menjadikan perang Rusia - Ukraina sebagai alasan kondisi mendesak sungguh tidak logis karena faktanya pada saat perang Rusia - Ukraina justru Indonesia mengalami surplus pada perdagangan sawit dan batubara. Sehingga wajar banyak kalangan menilai terbitnya perpu ini demi kepentingan korporasi dan oligarki.


Perpu Cipta Kerja versus Omnibus Law


Perpu Cipta Kerja yang terdiri dari 1117 halaman ini akan menggantikan UU no.11 tahun 2020 tentang cipta kerja (Omnibus Law) yang telah dinyatakan inkonstituonal bersyarat oleh Mahkamah konstitusi. Sebelumnya MK telah memberikan rentang waktu dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk merevisi undang-undang cipta kerja. Namun alih-alih merevisi dan memperbaiki ternyata pemerintah memilih jalan pintas yaitu menerbitkan perpu Cipta Kerja.


Jika dilihat dari substansi dan isinya, perpu Cipta Kerja tidak jauh beda dengan Undang-undang Cipta Kerja. Wajar jika banyak kalangan berpendapat bahwa perpu ini hanyalah copy paste dari undang-undang Cipta Kerja.


Padahal sebelumnya masyarakat dan berbagai kalangan sudah banyak yang mengkritisi undangan-undangan Cipta Kerja karena dinilai lebih pro pemodal dan korporasi. Bahkan demo besar-besaran telah dilakukan akan tetapi DPR tetap mengesahkannya pada 5-10-2020. Presiden pun menandatangani pada bulan berikutnya. Berbagi pasal dan aturan yang dibuat di dalam undang-undang cipta kerja banyak merugikan buruh dan pekerja. Diantaranya terkait penetapan upah minimun, penetapan hari libur, masalah out sourcing dan besaran pesangon.


Pada intinya perpu Cipta Kerja sama dengan Undang-undang Cipta Kerja yang telah dikritisi oleh banyak kalangan di negeri ini.



Arogansi dalam demokrasi 


Terbitnya Perpu Cipta Kerja hanyalah satu dari sekian banyak bukti arogansi penguasa dalam sistem demokrasi. Mantra demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah tipu-tipu mengelabui rakyat. Sejatinya aturan dan undang-undang dibuat demi kepentingan pemodal dan korporasi. Rakyat terus menjadi korban pesakitan. Suara rakyat hanya didengar dan dibutuhkan lima tahun sekali saat kontestasi. Setelah itu rakyat diabaikan tinggal gigit jari. Rakyat turun ke jalan mengajukan gugatan dan aspirasi tetapi undang-undang Cipta Kerja tetap saja dilegislasi.


Mengapa ini terjadi? Tentu tidak lain karena sistem demokrasi itu mahal. Seseorang bisa memenangkan kontestasi setelah berdarah-darah dan habis-habisan mengeluarkan modal. Setelah itu maka mengembalikan modal dan balas budi pun jadi tujuan. Jadilah semua aturan demi pemodal dan untuk pemodal. Aslinya demokrasi adalah dari kapitalis, oleh kapitalis dan untuk kapitalis.


Rakyat harus cerdas dan segera sadar, bahwa demokrasi tidak menjanjikan kesejahteraan kecuali sebatas mimpi. Sementara mimpi hanya meninggalkan sakit hati, ujung-ujungnya hidup sulit dan harus berjuang sendiri.


Islam sebagai solusi


Hanya dalam Islam aturan dibuat sesuai dengan fitrah manusia. Tidak lain karena aturan yang dilegislasi oleh Khalifah berasal dari syariat Islam. Allah maha kaya dan tidak punya kepentingan apapun terhadap mahluk ciptaanNya. Selain itu Allah adalah Zat yang paling tahu tentang aturan terbaik bagi makhlukNya. Berbeda dalam demokrasi, sistem buatan manusia dimana aturan dibuat berdasarkan akal manusia yang terbatas. Muncullah berbagai produk undang-undang yang ujung-ujungnya sesuai kepentingan rezim dan golongan tertentu.


Dalam Islam Khalifah hanya boleh melegalisasi aturan berdasarkan dalil-dalil syar'i baik dari Al-Qur'an, As Sunnah, ijmak sahabat maupun qiyas. Khalifah mengambil aturan berdasarkan ijtihad yang syar'i sehingga mustahil muncul undang-undang yang sarat dengan kepentingan korporasi dan menyengsarakan rakyat.


Khatimah


Hendaklah para pemimpin negeri ini sadar bahwa pengkhianatan terhadap rakyat hanya akan menghantarkan pada kesengsaraan dan keterjajahan. Hanya dalam sistem Islam rakyat mampu mendapatkan haknya dan meraih sejahtera dan bahagia.




Wallahu 'alam

Posting Komentar

0 Komentar