Road to 2024 (8): Tidak Ada Capres atas Nama NU, Didn’t You Know?
Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)
Kepentingan pemilu 2024 tidak semata dimonopoli partai politik. Kelompok masyarakat termasuk Nahdhatul Ulama (NU) juga turut merespon:”Tidak ada Capres dan Cawapres atas nama NU”. Hal ini menarik perhatian publik. Pasalanya, NU dengan keanggotaan yang banyak menjadi daya tawar partai politik, capres-cawapres, dan caleg untuk berebut suara di sini. Mendulang suara dari NU seperti minum air segar pegunungan yang ada oksigen dan ada manis-manisnya.
NU memang bukan partai politik sebagaimana dahulu partai NU yang ikut pemilu di masa orde lama. Secara konstitusi, NU sebagai lembaga tidak bisa mencalonkan Capres-Cawapres. Begitu pun secara perorangan tidak boleh ada yang mengatas namakan NU untuk maju pilpres. Restu utama tetap ada di tangan segelintir ketua umum partai politik peserta pemilu.
Meski demikian, bukan berarti NU melarang kadernya untuk maju dalam perhelatan pemilu lima tahunan. NU sebagai lembaga keagamaan fokus pada urusan dakwah, sosial, pendidikan, pesantren, dan keumatan. Agendanya lebih menyentuh akar rumput. Pertanyaan besarnya, bagaimana politisi akan mencoba mendulang suara dan dukungan tidak hanya dari NU, tapi juga dari entitas lainnya? Inilah menariknya memahami komunikasi politik dan trik politik dalam kontes pemilu yang penuh intrik.
Membaca Komuniasi Politik
Politisi demokrasi yang dibutuhkan ialah suara kemenangan dari suara tuhan. Di mana berkumpulnya masyarakat, di situlah potensi untuk menggaet suara umat. Berlepas apakah itu di entitas masyarakat homogen dan heterogen, entitas kolonial dan milenial, entitas keagamaan dan non keagamaan? Semua bisa didekati tentu dengan cara tersendiri. Komunikasi politik yang dibangun pun besifat timbal balik. Ada uang dibalik sebuah pemilihan.
Bagaimana membaca komunikasi politik NU yang sebenarnya merupakan tawaran menggiurkan?
Pertama, siapa sih yang dalam hidup ini tidak ada kaitannya dengan politik? Bahkan diam pun akan terimbas kebijakan politik. Maka, komunikasi yang saling menguntungkan baik untuk personal atau keorganisasian akan dibangun. Kepentingan entitas kelompok umat lebih pada keberlangsungan dan kenyamanan dalam beraktifitas. Kalau dalam parpol dikenal koalisi. Kalau dalam organisasi sosial dikenal keleluasaan dan perlindungan aktifitas. Dukungan kebijakan dan keungan yang paling menguntungkan.
Kedua, NU dengan masa jutaan menjadi incaran siapa pun yang ingin menang. Istilah mati urip manut kyai dipegang betul oleh akar rumput. Karenanya, politisi akan lebih mendekati orang yang memiliki sturktural dalam masyarakat dan organisasi. Kelompok struktural inilah yang paling diuntungkan. Ibaratkan dalam memancing, cukup satu dikasih umpan yang lainnya berebutan dan ikutan.
Ketiga, komunikasi yang dibangun lebih pada win-win solution. Politisi mendapatkan keuntungan berupa suara akar rumput. Sementara orang yang berjasa akan mendapatkan tanda khusus. Biasanya dalam bentuk rekomendasi atau dukungan aktifitas kegiatan. Kalau beruntung sang pemimpin entitas bisa duduk dalam jabatan mentereng dalam pemerintahan. Rakyat di bawah kecipratan sedikit keuntungan dan kebanggaan.
Keempat, meski tidak ada yang mengatas namakan, bisa jadi siapapun yang akan maju harus meminta restu. Komunikasi politik yang dimainkan di depan kamera lebih pada sorotan wajah kebersamaan. Adapun di balik kamera ada deal-deal yang tak banyak akar rumput tahu. Sebab permainan politik ini dimainkan orang yang saling tahu medan.
Kelima, meski secara formal tak ikut-ikutan dalam copras-capres, upaya sambil mendayung dua tiga pulau terlampaui. Kalau tak bisa menyodorkan diri, siapa tahu ada kader yang dilirik jadi menteri atau duduk di kursi pemerintahan. Ini sebagai eksistensi diakui, dipercaya, dan dilindungi.
Keenam, politisi meski tak mendapat rekomendasi resmi, akan mengambil kader potensial sebagai get voter (penarik suara) dalam pemilihan. Ini pun untuk menarik pendanaan dan dukungan yang meluas untuk kesuksesan dalam pemilihan. Syukur-syukur akar rumput suaranya sudah digenggam.
Alhasil, komunikasi politik bisa dilakukan siapa pun. Dalam politik demokrasi semua bisa bikin sensasi. Di hadapan kamera tak mau ikutan-ikutan. Di belakang kamera sudah merancang garis-garis besar haluan penentu kesuksesan.
Bagaimana Posisi Umat?
Indonesia sudah disebut dunia sebagai negeri muslim yang bersanding dengan demokrasi. Padahal tidak ada dalil pun dalam quran dan sunnah terkait demokrasi. Maka klaim demokrasi itu Islami, Islam itu demokrasi tidak dibenarkan. Cenderung mengada-ada dan menyesatkan umat manusia.
Umat islam sebagai mayoritas di negeri ini, selama tidak diatur kehidupannya dengan syariah Islam akan terus dikangkangi. Demokrasi tak memandang halal dan haram. Apalgi tahu dosa dan pahala. Demokrasi akan berubah wajah sesuai konstituen yang ditemuinya. Ketika bertemu dengan ulama berpakaian gamis, kopyah, dan busana muslimah. Ketika bertemu dengan lainnya sesuai kebiasaan di sana. Gaya melebur inilah yang sering dilakukan dalam komunikasi politik. Secara psikologi politik, kehadiran dengan busana yang sama akan lebih mudah diterima apalagi difasilitisai tokoh utama.
Umat Islam bukan berarti lari dari politik. Apalagi menganggap politik itu kotor. Bolehlah ada anggapan itu, tapi tidak berlaku untuk politik Islam. Seperangkat aturan Islam telah mengatur politik dan terdokumentasi dalam fiqh siyasah. Konteksnya jelas pernah diterapkan dalam kehidupan rasulullah dan khalifah sesudahnya.
Aturan Islam berasal dari Allah SWT. Artinyanya akan kompatible dalam segala zaman dan makan (tempat). Selama umat Islam asyik masyuk dalam gegap gempita demokrasi hasilnya pasti gigit jari. Ketika pemilu datang asyik bergandengan tangan. Ketika pemilu usai, umat pun harus siap-siap menjadi pesakitan dengan ragam kebijakan. Tidakkah sadar jika kemiskinan sistemik, ekonomi yang sulit, kejahatan yang kesetanan, dan politisi yang berjiwa koruptik selalu menjadi bumbu harian dalam pemberitaan. Lantas, dengan fakta apa lagi agar umat ini sadar untuk bisa kembali kepada aturan keilahian?
Oleh karena itu, kembali memahami politik Islam sebagai soko guru kekuatan umat perlu digalakkan. Politik Islam yang bermakna mengurusi urusan umat baik dalam negeri maupun luar negeri dengan Islam. Politik yang akan melahirkan aturan dan kebijakan yang bersendi pada hukum yang berkeadilan dan berkeprimanusiaan. Serta politik yang mampu melahirkan ekonomi yang penuh berkah dan kesejahteraan. Tak perlu larut dalam bujuk rayuk politisi belut!
0 Komentar