Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Ironi Demokrasi, Tidak Ada Kontrol Politik di Pemerintahan



Vice Presiden PKAD, Dr (Cand.) Agus Kiswantono, MT mengungkapkan ironi dalam sistem demokrasi adalah tidak adanya kontrol politik di pemerintahan 


“ironi sekarang ini, ditengah kampanye demokrasi, ditengah kampanye kebebasan dalam berdiskusi, berorasi atau mengemukakan pendapat, tapi celah itu tidak ada yaitu kontrol balancing ormas-ormas yang menjadi satu kontrol politik di pemerintahan," tuturnya dalam Perspektif PKAD: Pemakzulan Jokowi Dalam Koridor Pilpres Langsung, Legitimate-kah?, Kamis (8/6/2023) di Kanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD). 


Cak Agus sapaan akrabnya menyatakan keberanian partai politik saat ini kalah dengan keberanian dari ormas. Ia mencontonkan ormas yang paling berani eksisting saat itu seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang telah dibubarkan atau dicabut BHP-nya dan FPI (Front Pembela Islam) 


Sehingga, menurutnya keterwakilan dari ormas Islam yang direpresentasikan HTI dan FPI itu belum ada yang mampu mempresentasikan lagi untuk melakukan kontrol politik, di pemerintahan. 


“Jadi kelemahan ketidak-adaan kontrol di pemerintahan sekarang yang berani, yang vulgar itu karena adanya jerat-jerat hukum, karena adanya kepentingan-kepentingan pragmatis, ini tidak ada seperti itu. Semua tersandera, hampir semua partai politik itu tersandera karena menikmati kue kekuasaan," jelasnya. 


Cak Agus menyayangkan, orang-orang yang berusaha vokal itu sekarang minimalis, kalaupun ada yang vokal langsung dipenjara”. Anton Permana langsung dipenjara atau yang mengkritik seperti Syahganda Nainggolan itu juga diberikan sanksi juga," ujarnya. 


“Jadi minimnya keberanian nyali untuk melakukan proses perubahan itu sekarang persentasenya sangat minimalis sekali dan ormas yang awalnya sangat luar biasa melakukan kontrol juga sekarang sudah tidak ada lagi," imbuhnya. 


Agus mengatakan sebagai bangsa yang besar mayoritas muslim, harusnya umat Islam berkontribusi yang besar untuk proses perubahan. “Jadi jangan sampai ketinggalan kereta, kalau ketinggalan kereta, wah ini nanti akan berbahaya nanti”, paparnya. 


Ia mengatakan bagaimanapun konsentrasi politik tahun 2024 ini akan berdampak pada konsentrasi politik juga ke masyarakat. Konsentrasi masyarakat inilah sebenarnya yang akan dan mau diambil sebagai legitimasi publik, apapun partainya, siapapun nanti yang akan berkuasa. 


"Perlu disadari ataupun juga dipahami Indonesia ini kan mayoritas muslim hampir 85 persen. Maka siapapun capresnya, siapapun pemimpinnya ke depan untuk jelang 2024 pasti akan menggunakan bridging Islam itu sebagai identitas, Islam itu sebagai kanal, Islam itu sebagai magnet untuk memilih," himbaunya. 


Cak Agus mengagakan yang harusnya dilakukan itu adalah bagaimana umat Islam yang mayoritas bisa mewarnai dengan kemayoritasannya sebagai seorang muslim ini. Perlu ada satu usulan perubahan sebelum terjadi kemenangan kontestasi kedepannya. 


“Kalau Hizbut Tahrir Indonesia saat itu kan mengajukan proposal Khilafah, kalau FPI Indonesia Bersyariah, itu syah-syah saja tidak ada masalah karena ini adalah ruang publik untuk menguji konseptualnya," ungkapnya. 


"Perlu diingat konseptual itu harus dibawah seorang pemimpin. Bagaimana pemimpin ini bisa menguasai kalau pemimpin itu mampu berkompetisi, kompetisi itu kan ya bisa pakai pemilu bisa non pemilu. Itu nggak ada masalah yang penting ada satu wujud untuk dukungan publik," tandasnya.[] Rahmadi Al Fatih

Posting Komentar

0 Komentar