Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Ngarep-ngarep Dukungan dalam Pencapresan

 

Road to 2024 (18): Ngarep-ngarep Dukungan dalam Pencapresan

Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media)


  PDI-Perjuangan bisa dibilang partai paling jumawa dalam urusan pencapresan. Maju sendirian pun bisa tanpa koalisi dari partai lainnya. Ini karena PDI-P memenuhi presidensial threshold. Sedangkan partai lainnya mesti berkoalisi untuk mengusung capres-cawapres. Karenanya tak mengherankan, partai lainnya masih menghitung kalkulator politik dalam koalisi yang pelik. Saling klaim dukungan partai pun ditanggapi beragam. Sementara itu, relawan Jokowi pun sudah bergerilya dan menentukan sikapnya. Wajar relawan Jokowi tak akan berganti nama meski Jokowi tak bisa maju lagi.


  Kompas dari Jokowi pun masih jadi pedoman. Terlebih PSI (Partai Solidaritas Indonesia) sempat dituding oleh politisi PKB merapat ke Prabowo. Partai-partai besar yang sudah berkoalisi pun menghitung kalkulasi politik demi kemenangan dan perebutan kekuasaan. Seiring dengan hal itu, partai-partai kecil pun mulai mendeklarasikan diri mendukung salah satu calon presiden yang sudah digadang-gadang maju. PBB (Partai Bulan Bintang) sudah merapat ke Prabowo. Golkar sudah menentukan sikap tidak akan dukung Anies. Pada akhirnya ketika koalisi sudah terbentuk tinggal berfikir capres yang bisa menjadi penarik lumbung suara.


  Ngarep-ngarep dukungan dalam pencapresan ini begitu vital. Pasalnya selain dukungan modal pendanaan juga dukungan politik dari partai koalisi. Meski ada silaturahmi politik antar-partai, tetap saja itu sekadar gimmick yang tak pernah diketahui rakyat. Karena apa yang tampak di depan layar bisa jadi berubah dalam praktik lapangan. Selebihnya, rakyat pun menikmati parodi politik yang terkadang tensinya naik.


Ngarep Dukungan?

  

  Dukungan rakyat itu nomor dua. Yang pertama dukungan ketua umum partai politik yang menentukan arah perebutan kekuasaan. Ketum parpol memiliki ego yang besar sesekali jaga image ketika ada yang melakukan pendekatan. Bergaining politik ketua umum partai besar begitu diperhitungkan. Kondisi ini berbeda ketika sesama ketua umum memiliki kesamaan kepentingan.


  Partai politik melalui ketua umum memiliki kekuatan penuh dalam menentukan biduk politik. Siapa yang layak maju dan didukung. Siapa yang tak layak disimpan sebagai tim pemenangan. Terdapat sebuah alasan untuk mendongkrak loyalitas anggotanya. Kondisi ini berbeda dengan rakyat yang menjadi obyek perebutan suara pada pemilu raya nantinya.


  Kenapa semua berharap dukungan? Apakah ini menandakan sebuah ketidakpercayaan kalau sejatinya partai politik itu belum menunjukkan performa terbaiknya? Lantas, bagaimana nasib rakyat di tengah prahara perebutan politisi dalam kekuasaan? Ada beberapa analisis yang bisa dikaji:


Pertama, beberapa partai sadar diri tidak gegabah mencalonkan kadernya dalam pencapresan. Hal ini karena partai memiliki sedikit kursi di parlemen. Legislatif menjadi penyokong kekuasaan nomor dua setelah eksekutif. Pilihannya terakhir ialah bergabung dengan memilih posisi yang menguntungkan secara kalkulasi politik. Hal ini seperti manuver PPP yang merapat ke PDI-P. Kemudian PBB yang sudah melabuhkan mendukung Prabowo bersama Gerindra. PSI dan Hanura tampaknya akan bermitra dengan PDI-P.


Kedua, pendekatan partai-partai kecil kepada partai mapan ini demi menyelamatkan sampan. Sudah menjadi konsumsi publik, siapapun yang bermitra dalam dukungan akan mendapatkan tempat di kemudian hari. Bagi-bagi jabatan dalam kue kekuasaan siap menanti. Sementara, rakyat yang mati-matian melakukan pembelaan di lapangan kerap dikecewakan.


Ketiga, sejumawanya partai besar, tetap saja mereka bisa kalah jika dikeroyok banyak partai. Kejumawaan dan kedigdayaannya menjadi bekal utama untuk menggaet partai lainnya dalam kapal yang sama. Ini bagian dari konsolidasi partai untuk membentuk jejaring hingga akar rumput. Rakyat yang menjadi perebutan suara akan coba dipecah arus konsentrasinya. Harapannya dukungan itu hanya kepada calonnya untuk bisa menang.


Keempat, harapan dukungan ini juga diminati bandar-bandar politik. Mereka mencoba bermain di setiap lini untuk mendukung secara modal dan finansial. Politik demokrasi dikenal dengan pemilu yang banyak biaya. Harga mahal sebuah demokrasi untuk menihilkan ideologi. Pragmatisme politik menjadikan semuanya diukur dengan ‘uang’. Mau menang asal ada uang.


  Ngarep-ngarep dukungan ini akan menjadi fenomena klasik sebelum bacapres dan bacawapres mendaftarkan resmi di KPU. Semua bisa coba mencocok-cocokkan. Mengepas-ngepaskan siapa yang bisa menjadi mitra koalisi untuk kemenangan nanti. Semua partai dag-dig-dug. Waktulah yang akan menjawabnya.


Rakyat Dapat Apa?


 Poin pentingnya kembali kepada rakyat. Rakyat sejatinya pemilik kekuasaan yang sah. Sayangnya elit politik dalam partai berhasil mengendalikan kekuasaan itu berputar di antara mereka. Rakyat menjadi obyek dan didekati menjelang pemilu raya. Rakyat yang sejatinya tak banyak terlibat dalam urusan politik harus menanggung beban politik. Artinya rakyat akan kembali lagi dalam kehidupan yang serba pelik.


  Rakyat dalam politik demokrasi sekadar penggembira dalam panggung kampanye. Sedikit sogokan dalam money politics mewarnai denyut nadi dalam menentukan pilihan. Kondisi ini diperparah dengan sikap rakyat yang tak lagi memperhitungkan nasibnya di kemudian hari. Tatkala demokrasi hadir dalam politik, sifat destruktif pun merebak luas. Rakyat yang mayoritas muslim yang sejatinya memiliki standar halal dan haram yang jelas dibuat abu-abu. Demi kepentingan sesaat rakyat dikorbankan dan jadi pesakitan.


  Untuk itulah, rakyat Indonesia sebagai bangsa yang berfikir dan beradab hendaknya sadar betul. Perebutan kekuasaan itu bukan untuk kepentingan rakyat. Perebutan itu hanya mengatasnamakan rakyat dan bantu rakyat. Demokrasi telah menjadi hantu yang menakutkan dan siap menenggelamkan rakyat. Sadarilah, sesungguhnya ada politik yang lebih beradab dan membangun peradaban lebih baik. Gambaran itu ada dalam politik Islam yang agung. Jika rakyat menyadari, maka kembali mengkaji politik Islam merupakan jalan agar tidak larut dalam ngarep-ngarep dukungan yang dilakukan elit politik dalam pencapresan.

Posting Komentar

0 Komentar