Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Pengemudi Ojol Terjepit Akibat Regulasi Eksploitatif


Oleh : Rey Fitriyani, Amd KL 


Derita pengemudi ojol semakin bertambah terkait hubungan kemitraannya dengan perusahaan aplikasi. Pasalnya perusahaan aplikasi mengklaim pihaknya senantiasa mematuhi regulasi pemerintah dan berupaya meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudinya. Sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Sejumlah pengemudi ojol yang ditemui BBC News Indonesia mengatakan keresahannya. Karena bagi pengemudi ojol ini dalam sehari, mereka memperoleh antara Rp10.000 sampai Rp100.000. Bahkan ada kalanya nol rupiah. Afung, salah seorang pengemudi ojol bercerita, sepanjang 27 Maret-2April, Afung menerima Rp49.900 dan pada tanggal 15-21 Mei, dia memperoleh Rp223.800. Bagi pengemudi yang sudah delapan tahun menjadi driver ojol ini, penghasilan tersebut sangat tidak sepadan lantaran dia harus menanggung sendiri biaya perawatan motor, bensin, dan paket data internet.


"Saya bilang untuk driver tidak sepadan, karena mesti saya nanggung semua sendirian. Grab tidak pernah nanggung apa-apa," ucapnya ketus.


Berdasarkan kondisi ini, menurut mahasiswa doktoral London School of Economic (LSE), Muhammad Yorga Permana, dari 1.000 pengendara ojol dan kurir yang diteliti, menyatakan ingin berhenti dan jika ada kesempatan beralih jadi pekerja kantoran. Dihadapkan pada persoalan itu, Kementerian Ketenagakerjaan sedang menyusun Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan tentang perlindungan tenaga kerja luar hubungan kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi. 


Terkait soal penyusunan aturan perlindungan tenaga kerja luar hubungan kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi. Menurut Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati. Dia menilai regulasi yang tengah digodok Kementerian Ketenagakerjaan itu justru eksploitatif dan mengaburkan hubungan kerja antara aplikator dengan pengemudi ojol dan kurir.


"Karena dalam peraturan tersebut masih menerapkan imbal hasil yang selama ini sarat akan potongan aplikator yang sangat besar melebihi ketentuan," ujar Lily dalam keterangannya kepada Tempo, Senin, 31 Juli 2023. 


Lily mengungkapkan potongan tersebut dilakukan sepihak dan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kepentingan aplikator. Seharusnya, peraturan tersebut menetapkan pengemudi dan kurir sebagai penerima upah minimum selayaknya pekerja pada umumnya. SPAI juga menolak ketentuan jam kerja selama 12 jam, pihaknya menyarankan ketentuan 8 jam kerja dan tambahan jam lembur maksimal 3 jam dengan persetujuan pengemudi.

 

Lebih lanjut, SPAI menekankan perlunya aturan ihwal hak pengemudi dan kurir perempuan dalam mendapatkan cuti haid, cuti melahirkan, dan cuti keguguran. Serta jaminan sosial selayaknya pekerja penerima upah dengan ketentuan iuran dibayarkan oleh perusahaan atau aplikator. Adapun jaminan sosial yang diminta SPAI mencakup jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kehilangan pekerjaan. SPAI kembali mendorong agar pemerintah menetapkan hubungan kerja antara aplikator dengan pengemudi dan kurir, bukan lagi hubungan kemitraan. Sehingga pengemudi ojol dan kurir mendapatkan hak-haknya secara penuh sebagai pekerja sesuai Undang-undang Ketenagakerjaan.


Inilah nasib pengemudi ojek online di negara yang menerapkan sistem kapilatalisme. Prinsip ini hanya berlandaskan bisnis, yang tujuannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Perusahaan aplikator akan lebih fokus pada eksistensi bisnisnya daripada nasib pengemudi. Bahkan pihak aplikator tidak serius dalam menjamin kesejahteraan para pengemudinya. Status “kemitraan” sedang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari memberi pengemudi jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja layak. Ironisnya, penguasa di negeri yang menganut sistem ini hanya berperan untuk meregulasi bisnis-bisnis ini. Pun kebijakan yang lamban dari pemerintah juga tidak mampu memberikan solusi apa pun, bahkan tidak peduli akan kesejahteraan para pengemudi ojol. Sungguh malang nasib pengemudi ojol di sistem ini, sudahlah mereka bekerja mati matian tapi hasil yang didapatkan tidak sebanding, jikalau keluar dari pekerjaan ini justru yang ada mereka menganggur dan tidak memiliki penghasilan.


Terkait nasib para pengemudi ojol, Islam mempunyai aturan terkait akad akad yang dibangun antara perusahaan dan pekerjanya. Dalam regulasi Islam, sistem pekerjaan harus jelas sejak awal, baik jumlah, waktu, maupun penghasilannya. Seorang pekerja digaji karena telah memberikan manfaat dari jasa yang telah ia lakukan. Apabila manfaat itu sudah tertunaikan, perusahaan wajib memberi upah dan tidak boleh terjadi gharar (ketidakkejelasan), misalnya ada potongan-potongan yang tidak jelas, apalagi sampai lebih dari 20% yang mengakibatkan turunnya pendapatan para pekerja. 


Disisi lain, negara yang menerapkan sistem Islam berkewajiban melakukan asistensi pengawasan dan memenuhi kebutuhan hajat hingga per individu rakyat, sehingga mereka tidak mengandalkan upahnya untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Dari dua permasalahan inilah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pertama, mengenai kejelasan akad kerja. Kedua, tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Semuanya sudah diatur secara sempurna dalam sistem Islam (Khilafah).


Dengan demikian, tidak akan ada pihak yang dirugikan. Rakyat tidak akan mengandalkan penghasilannya sebagai satu-satunya jalan untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Pun negara akan menanggung seluruh kebutuhan pokok rakyatnya, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, keamanan, dan lainnya. Beginilah cara Islam mensejahterakan rakyatnya, pengemudi ojol (pekerja) tetap dapat memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa dipusingkan oleh berbagai macam jaminan sosial, karna semua jaminan itu telah ditanggung oleh negara. Wallahu a’lam bisshowab

Posting Komentar

0 Komentar