Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Janji Manis Stop Import Beras Berakhir Pahit, Petani Kian Menjerit.


Oleh: Fita Rahmania, S. Keb., Bd.

Silih bergantinya tahun rupanya tak dapat membuat kondisi negeri ini jadi lebih baik. Baru memasuki awal tahun saja pemerintah melalui Perum Bulog (Badan Urusan Logistik) santer mewacanakan siap membuka kran impor beras tahun ini dengan prediksi lebih dari 2 juta ton. Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi menyatakan penugasan impor resmi yang didapatkanya saat ini baru 2 juta ton dari Bapanas (Badan Pangan Nasional) untuk realisasi tahun 2024. Penugasan tersebut, ungkapnya dilakukan untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP) sekaligus melakukan intervensi harga jika sewaktu-waktu harga beras sedang tinggi. (industri.kontan.co.id, 12/1/2024)


Sungguh ironi, Indonesia yang masyhur sebagai negara agraris kini rutin mengimpor beras dari negara lain. Terlebih lagi beras adalah komoditi utama di negeri ini. Hampir 97% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Hal ini mengindikasikan tingkat ketergantungan terhadap beras sangat tinggi (Louhenapessy, dkk. 2010).


Konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia tiap tahun mencapai 139,15 kilogram per kapita per tahun, sementara jumlah beras yang dikonsumsi langsung di dalam rumah tangga berdasarkan data sebesar 100,76 kg/kapita/tahun. Jumlah ini sangat jauh jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya yang hanya mengkonsumsi beras sebanyak 40 - 80 kilogram per kapita per tahun. Sementara standar Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) untuk konsumsi beras adalah 60 – 65 kg per kapita per tahun. Hal ini berarti bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia telah melebihi standar kecukupan global.


Semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia tentu membuat kebutuhan akan beras semakin meningkat pula. Pada tahun 2022 saja, jumlah penduduk Indonesia adalah 273.879.750 jiwa. Jika angka ini dikalikan dengan rata-rata kebutuhan rakyat Indonesia akan beras yakni 139,15 kg/kapita/tahun atau sekitar 0,4 kg/orang/hari, maka kebutuhan akan beras akan mencapai ratusan juta ton per hari. 


Sementara produksi beras dalam negeri menurut Departemen Pertanian (2022) hanya sebesar 31,36 juta ton dan pada tahun 2023, BPS mencatat produksi beras Indonesia mengalami penurunan menjadi sebesar 30,90 juta ton. Penurunan tersebut sejalan dengan menyusutnya luas panen tahun 2023 sekitar 2,45% atau 0,26 juta hektare (ha) dari 10,45 juta ha tahun 2022 menjadi 10,20 juta ha tahun 2023. 


Melansir cnbcindonesia.com, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa penurunan luas panen ini akibat kondisi kekeringan berkepanjangan sebagai dampak fenomena El Nino, yang kemudian menyebabkan gagal panen dan gagal tanam di sejumlah wilayah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa produksi beras dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri.  

Namun demikian, pemilihan impor beras sebagai solusi utama guna menyelamatkan rakyat dari ancaman kelaparan justru membuat ketagihan. Bahkan, jumlah impor beras pada tahun lalu menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Deputi Bidang Statistik dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, jumlah impor beras sepanjang tahun lalu mencapai 3,06 juta ton. Angka tersebut melonjak 613,61 persen dari tahun sebelumnya. (Kompas.com, 15/01/2024)

Alih-alih menyelesaikan persoalan, impor beras juga membuat swasembada pangan sulit digapai. Sejatinya impor merupakan cerminan kedaulatan ekonomi suatu negara, apakah barang dan jasa buatan dalam negeri masih menjadi tuan di negeri sendiri. Suatu negara melakukan impor karena mengalami defisiensi (kekurangan/ kegagalan) dalam menyelenggarakan produksi barang dan jasa bagi kebutuhan konsumsi penduduknya (Husna, 2010). Suatu negara tidak mampu menyediakan kebutuhan beras terjadi akibat negara tersebut tidak dapat memproduksi secara efisien. Dengan demikian, bukankah sebaiknya negara lebih fokus pada perbaikan produksi dan distribusi dibanding harus mengambil jalan pintas berupa impor beras? 

Dari sisi produksi, fenomena pengalihfungsian dan alih kepemilikan lahan oleh swasta yang menjamur belakangan ini ikut andil dalam mempersempit lahan pertanian. Petani tak lagi punya tempat bercocok tanam, semua berubah menjadi gedung, pabrik dan berbagai infastruktur lain. Belum lagi impor beras juga akan membuat mereka rugi. Sebab, harga gabah kering panen (GKP) jelas akan semakin anjlok. Mereka tak punya pilihan lain selain harus tunduk pada kebijakan-kebijakan yang memuluskan niat para pemilik modal tersebut.  


Sedangkan dari sisi distribusi, 90% distribusi beras negeri ini dikendalikan oleh swasta. Jika swasta yang mengendalikan, tentu profit/ keuntungan menjadi tujuan utamanya. Wajar saja jika orang miskin sulit untuk mengaksesnya.

Dalam percaturan kapitalisme, negara bertindak hanya sebatas regulator, bukan pengurus rakyat. Negara hanya menjadi penyambung kepentingan pengusaha/ swasta terhadap rakyat, begitu pun sebaliknya. Rakyat membutuhkan sejumlah kebutuhan hidup, sedangkan pengusaha/ swasta yang akan menyediakan fasilitas hidup rakyat.

Hal ini tentu tidak berlaku dalam sistem Islam. Islam telah memiliki mekanisme khusus dan terbukti mampu mewujudkan swasembada pangan sehingga akan menjadikan negara berdaulat tanpa ketergantungan dengan negara lainnya.

Adapun mekanisme Islam dalam mewujudkan swasembada pangan adalah meletakkan peran penguasa sebagai sebenar-benarnya pengurus seluruh urusan umat. Mulai produksi hingga distribusi ada di bawah pengelolaan negara. Adapun pihak swasta, boleh saja terlibat, tetapi seluruhnya harus  dalam kendali negara.

Penting bagi penguasa untuk memastikan setiap warga negaranya dapat mengakses pangan sehingga perangkat negara dari pusat hingga level Rukun Tetangga akan bekerjasama untuk memenuhi seluruh hak warga. Jika ada warga yang tidak mampu membeli beras, bantuan berupa santunan akan terus diberikan hingga mereka sanggup memenuhinya sendiri. Sedangkan dalam kondisi tertentu, seperti paceklik, bencana alam atau lainnya yang menyebabkan stok pangan berkurang, kebijakan impor boleh diambil sesuai dengan ketentuan hukum Islam terkait dengan perdagangan luar negeri.


Maka, sudah saatnya rakyat kembali memilih sistem Islam sebagai jalan bernegara. Menyerahkan keputusan segala kebijakan pada suatu yang berhak yakni Allah SWT, Sang Pemilik Semesta. Bukan pada para pemilik modal yang serakah bak serigala berbulu domba. Mereka seolah-olah mengurus rakyat namun nyatanya hanya menginginkan keuntungan semata.


Posting Komentar

0 Komentar