Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Kemenkeu Klaim Pinjaman Pemerintah Terkendali, Ga Bahaya Ta?


Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari, menyatakan bahwa pinjaman Pemerintah baik dari dalam maupun luar negeri masih dalam posisi wajar dan aman. "Sejauh ini, pinjaman Pemerintah masih terkendali. Posisi utang Pemerintah per 30 November 2023 adalah Rp8.041,01 triliun. Surat Berharga Negara (SBN) mendominasi sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang), dan pinjaman sebesar Rp 916,03 triliun (11,39% dari total utang). Pinjaman luar negeri mencakup Rp886,07 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp29,97 triliun. Pinjaman luar negeri terutama berasal dari pinjaman multilateral (Rp540,02 triliun) dan pinjaman bilateral (Rp268,57 triliun). Pinjaman ini digunakan untuk membiayai pemenuhan defisit APBN dan proyek-proyek prioritas." (Gatranews, 31/12/2023)


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai utang Pemerintah yang mencapai Rp8.041 triliun atau dengan rasio terhadap PDB sebesar 38,11 persen pada November 2023 masih terkendali. "Rasio utang kita tetap di bawah 40 persen, terendah dibandingkan negara maju yang bahkan di atas 100 persen dan negara berkembang lainnya. Jadi, relatif ini masih hati-hati," kata Menko Airlangga di Jakarta. (Antara, 22/12/2023)


Pemerintah kapitalistik, dalam upayanya membiayai infrastruktur dengan cepat, seringkali menggunakan jalan pintas yaitu pinjaman. Hal ini telah menjadi kebiasaan di Indonesia dan negara-negara Muslim, meskipun dalam banyak kasus terdapat unsur riba. Utang luar negeri Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, yang disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme yang menganggap utang sebagai sesuatu yang umum. APBN yang sering mengalami defisit juga mendorong Pemerintah untuk mencari utang baru. Namun, utang yang tidak produktif dalam APBN selalu menunjukkan defisit, dan akhirnya, utang tersebut menjadi beban bagi masyarakat, bukan hanya negara. Pemerintah kemudian menarik uang rakyat melalui pajak, yang terus meningkat dan semakin memberatkan rakyat.


Jika dianalisis lebih lanjut, utang luar negeri sebenarnya sangat berbahaya karena pertama, dapat digunakan sebagai cara untuk menjajah Indonesia. Kedua, dapat menjadi sarana untuk memata-matai kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia di bawah dalih bantuan teknis atau ekonomi. Ketiga, negara peminjam tetap dalam ketergantungan dan terjerat oleh utang yang terus bertambah. Keempat, utang dapat digunakan sebagai senjata politik oleh negara kapitalis untuk memaksakan kebijakan politik dan ekonomi. Kelima, utang dapat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan negara peminjam.


Padahal, Indonesia memiliki potensi menjadi negara bebas utang dengan memenuhi beberapa syarat. Pertama, penguasa dan pejabatnya harus menyadari bahaya utang luar negeri. Kedua, harus ada keinginan dan tekad kuat untuk mandiri, termasuk menyelesaikan masalah ekonomi serta menghilangkan mentalitas ketergantungan pada luar negeri. Ketiga, perlu mengurangi segala bentuk


 pemborosan negara, seperti korupsi dan anggaran yang memperkaya pejabat hingga menyebabkan defisit anggaran. Proyek-proyek pembangunan yang tidak strategis dan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat juga tidak boleh dijalankan. Keempat, melakukan pengembangan, pembangunan kemandirian, dan ketahanan pangan. Kelima, mengatur ekspor-impor untuk memperkuat ekonomi dalam negeri dan memutuskan impor atas barang-barang yang dapat diproduksi di dalam negeri. Namun, kelima langkah ini hanya dapat diwujudkan jika Indonesia menerapkan sistem Islam, karena dalam sistem kapitalisme, utang dianggap sebagai fondasi untuk membangun ekonomi negara.


Penguasa Muslim seharusnya memahami bahwa berutang pada negara asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional adalah haram menurut syariah. Pertama, karena melibatkan bunga ribawi, sebagaimana firman Allah Taala, "Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (QS al-Baqarah: 275). Kedua, bantuan luar negeri dengan perjanjian tertentu dapat membuat negara kapitalis mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai Indonesia. Padahal, Allah berfirman, "Sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukmin." (QS An-Nisa: 141).


Jelas bahwa jika pemerintah tetap melanjutkan utang luar negeri, hal ini akan terus melanggar syariah, termasuk riba. Umat Islam seharusnya mendesak penguasa dan pejabatnya untuk menghentikan utang luar negeri serta utang lainnya, dan segera menerapkan sistem Islam dengan mendirikan Khilafah. Pernyataan bahwa utang terkendali dan memberikan dampak positif sebenarnya merupakan pernyataan berbahaya. Sebab, utang kepada negara asing dapat menciptakan ketergantungan dan membahayakan kedaulatan negara.


Semakin besar utang suatu negara, semakin banyak keuntungan bagi negara pemberi utang. Padahal, Indonesia dengan segala potensi sumber daya alam yang melimpah, yang dianugerahkan oleh Allah SWT, seharusnya mampu menjadi negara mandiri. Hal ini dapat terwujud jika pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan aturan Islam. Hanya sistem Islam yang dapat menjadi solusi atas semua krisis yang melanda negeri ini. Wallahu a'lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar