Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Kejahatan Terus Berulang, Apakah Sistem Sanksi Kita Saat Ini Tidak Memberi Efek Jera?

Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan Remisi Khusus (RK) bagi narapidana dan Pengurangan Masa Pidana (PMP) Khusus bagi Anak Binaan yang beragama Islam. Penerima RK dan PMP Khusus pada Lebaran 2024 berjumlah total 159.557 orang. Secara rinci, sebanyak 158.343 narapidana menerima Remisi Khusus. Total 157.366 orang mendapat RK I (pengurangan sebagian) dan 977 orang mendapat RK II (langsung bebas). Sementara itu, sebanyak 1.214 Anak Binaan mendapatkan PMP Khusus, dengan rincian 1.195 orang mendapat PMP (pengurangan sebagian), dan 19 orang mendapat PMP II (langsung bebas).


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly, mengungkapkan Remisi dan PMP merupakan wujud nyata dari sikap Negara, sebagai reward atau hadiah kepada narapidana dan Anak Binaan yang selalu berusaha berbuat baik, memperbaiki diri, dan kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna. “Remisi dan PMP menjadi sebuah indikator narapidana dan Anak Binaan telah mampu menaati peraturan di Lembaga Pemasyarakatan/ Rumah Tahanan Negara/ Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan telah mengikuti program pembinaan dengan baik,” ujar Yasonna dalam keterangan resmi, dikutip tirto,id. Rabu 10/4/2024.


Demikian juga yang terjadi di Sulsel, sebanyak 5.931 warga binaan di sejumlah lapas dan rutan mendapatkan remisi khusus Idulfitri tahun ini, bahkan 14 orang diantaranya langsung bebas. Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, sebanyak 16.336 narapidana mendapat remisi khusus Idulfitri 1445 H dari Kemenkumham, sebanyak 128 orang diantaranya langsung bebas. (CNN Indonesia, 11-4-2024).


Namun ada yang mengherankan, salah satu yang mendapatkan remisi adalah terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto. Tahun lalu, ia mendapatkan remisi khusus Idulfitri selama sebulan, dan di tahun ini pula ia kembali mendapatkan remisi selama sebulan. Tidak hanya remisi Idulfitri, ia juga mendapatkan remisi dalam rangka peringatan HUT ke-78 RI selama tiga bulan. (Tempo, 14-4-2024).


Remisi yang diberikan Negara kepada tahanan di momen momen tertentu, menunjukkan sistem sanksi ini tidak menjerakan bagi pelaku kejahatan. Bertambahnya kejahatan dengan bentuk yang makin beragam menjadi bukti tidak adanya efek jera. Akibat tidak adanya efek jera bagi sanksi pelaku kejahatan, membuat bentuk kejahatan makin beragam, sadis, dan mengerikan. Jika dahulu orang membunuh dengan cara biasa, kini marak pembunuhan dilakukan dengan memutilasi korbannya. Begitu juga kriminalitas yang makin menakutkan dan kejahatan seksual yang semakin parah. Sistem sanksi yang tidak menjerakan ini berakibat hilangnya rasa takut pada pelaku kejahatan, sehingga mereka berani melakukan kejahatan yang lebih besar. 


Selain itu sistem pidana yang dijadikan rujukan tidak baku, mudah berubah. Sistem sanksi yang tidak menjerakan ini merupakan sistem pidana warisan hukum Belanda, yang merupakan buatan manusia. Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) merupakan warisan Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS), yang kemudian dinaturalisasi menjadi UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Saat ini, KUHP sudah mengalami perubahan berdasarkan UU 1/2023 tentang KUHP. Dengan kekuatan uang misalnya, narapidana bisa membeli kemewahan di dalam lapas, bahkan Gayus Tambunan dan Setya Novanto (koruptor) bisa jalan-jalan dan membeli kebebasan. Masa hukuman bisa berkurang berkali-kali dalam setahun sehingga lebih pendek dari yang diputuskan oleh pengadilan. Lantas, bagaimana kita mengharapkan terwujud keadilan dan keamanan dari sistem pidana yang demikian? Jika kejahatan saat ini semakin meningkat dan terus bertambah seperti korupsi yang terkuak belakangan hingga menyentuh angka 271 triliun.


Inilah kondisi ketika menggunakan sistem pidana buatan manusia yaitu kapitalisme. Pelaku kejahatan mendapatkan hukuman yang ringan, padahal Allah SWT mengharuskan pelaku kejahatan dihukum hingga jera. Allah SWT berfirman, “Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).” (QS Al-An’am: 160).


Sungguh berbeda kondisinya dengan sistem Islam. Islam memiliki mekanisme untuk mencegah dan memberantas tindak kejahatan, sehingga tingkat kejahatan sangat minim. Penerapan syariat Islam menjadi kunci dalam melindungi masyarakat dari kejahatan. Ada tiga pilar penegakan hukum terwujud dengan sempurna yaitu: pertama, ketakwaan individu sehingga tercegah dari perilaku kejahatan, kedua, amar makruf nahi mungkar oleh masyarakat, sehingga setiap ada kejahatan akan cepat terdeteksi dan pelakunya diingatkan untuk tobat, ketiga, pemberlakuan sistem sanksi yang adil dan tegas oleh Negara. Dari sisi pencegahan, selain aspek ketakwaan individu, di dalam Khilafah Islamiah, Negara menjamin kesejahteraan rakyat secara orang per orang, baik dengan jaminan langsung maupun tidak langsung. Jaminan langsung maksudnya, Negara menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis, sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengaksesnya. Sedangkan jaminan tidak langsung maksudnya, Negara menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya, sehingga setiap lelaki dewasa bisa bekerja dan memperoleh penghasilan untuk menafkahi keluarganya. Sedangkan perempuan, anak-anak, dan lansia dalam posisi dinafkahi oleh walinya.


Selain itu, untuk fakir miskin Negara akan memberikan santunan untuk kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka juga diberi pekerjaan, baik berupa modal (tanah, uang, alat, keterampilan, dan lain lain), maupun lowongan pekerjaan yang bisa mempekerjakannya. Dengan demikian, tidak akan ada istilah “kefakiran dekat dengan kekufuran” karena kefakirannya sudah diselesaikan. Jaminan Negara secara ekonomi tersebut akan mengurangi faktor risiko terjadinya kejahatan. Selain itu, Khilafah menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak individu yang beriman dan bertakwa sehingga jauh dari kemaksiatan. Hal ini menjadi kekuatan internal bagi individu untuk melawan hawa nafsu dalam dirinya sehingga tidak tergoda untuk melakukan kejahatan.


Pada aspek penanganan kejahatan, Islam memiliki sistem sanksi yang khas, tegas, dan menjerakan. Setiap kejahatan akan diberi sanksi yang tegas, baik berupa hudud, jinayah, takzir, maupun mukhalafat. Penjara tidak menjadi satu-satunya jenis hukuman. Kalaupun hukumannya penjara, tidak ada pengurangan hukuman dari masa yang sudah hakim putuskan. Sanksi yang tegas tersebut tersebut berfungsi sebagai jawabir (menebus dosa di dunia sehingga tidak diazab di akhirat) dan zawajir (pencegahan agar tidak ada tindak kejahatan serupa). Demikianlah kebaikan ketika sistem Islam diterapkan. Manusia akan hidup dengan aman karena kejahatan sangat minim. Kesejahteraan masyarakat dalam naungan Khilafah dijamin oleh Negara, baik jaminan langsung maupun tidak langsung. Hal ini akan mengurangi faktor resiko terjaadinya kejahatan. Wallahu a’lam bisshowab

Posting Komentar

0 Komentar