Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Gen Z Menganggur, Negara Gagal Ciptakan Lapangan Pekerjaan

 

Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)



Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, berbicara mengenai data Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat ada 9,9 juta penduduk Indonesia yang tergolong usia muda atau Gen Z belum memiliki pekerjaan. Angka tersebut didominasi oleh penduduk yang berusia 18 hingga 24 tahun. Banyaknya pengangguran menunjukkan adanya keterbatasan lapangan kerja bagi para lulusan usia muda, yang disebut dengan istilah Gen Z. Hal ini menunjukkan gagalnya Negara menciptakan lapangan pekerjaan bagi para lulusan pendidikan di usia muda. Apalagi adanya kebijakan Negara yang memudahkan investor asing dan para pekerjanya untuk berinvestasi di Indonesia, semakin mempersempit tenaga kerja di Indonesia dalam mendapatkan pekerjaan, termasuk dalam pengelolaan SDA. Selain itu juga karena adanya ketidaksesuaian antara lapangan kerja yang tersedia dengan pendidikan yang dimiliki gen Z.


Ida mengatakan, angka pengangguran ini terbanyak statusnya sedang mencari pekerjaan usai lepas dari masa pendidikan, yang mereka berakhir dengan tak kunjung mendapatkan pekerjaan. "Itu biasanya mereka banyak yang pengangguran karena sedang mencari pekerjaan, mereka yang lolos sekolah atau lulus kuliah 24 tahun, itu biasanya lulus kuliah S1, kalau 18 itu biasanya lulus SMA. Banyaknya anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan ini karena tidak cocok (mismatch) antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini terjadi kepada lulusan SMA/SMK yang menyumbang jumlah tertinggi dalam angka pengangguran usia muda," ujar Ida usai rapat bersama Komisi IX DPR di Jakarta. (Kumparan Bisnis, Senin 20/05/2024) 


Generasi muda tanpa kegiatan terkategori Gen Z, yaitu generasi yang lahir pada rentang 1997-2012, yang kini mereka berusia 12-27 tahun. Persentase generasi muda Indonesia usia 15-24 tahun yang berstatus NEET mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional. Artinya, dari 100 orang penduduk muda, ada 22 orang yang tanpa kegiatan. Generasi muda ini merasa putus asa karena berbagai penolakan yang mereka terima. Lantas mereka tidak percaya diri untuk lanjut melamar kerja sehingga tergolong NEET. (CNBC Indonesia, 21/05/2024).


Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia yaitu dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022. Perpres ini diyakini dapat mengurangi mismatch dengan merevitalisasi pelatihan vokasi, menyambungkan dan menyinkronkan dengan pasar kerja. Ini adalah Perpres kolaborasi, karena itu menyertakan Kadin yang tahu dunia kerja, yang tahu pusat kerja dan teman-teman pengusaha maka harus ada sinergi terus antara pendidikan dan pelatihan dari dunia kerja. (Kumparan Bisnis, 20/5/2024)


Banyaknya pemuda yang menganggur tentu memprihatinkan. Mereka sedang berada pada masa puncak produktivitas, sehingga seharusnya mendayagunakan seluruh potensinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, membantu orang tua, dan lebih-lebih adalah untuk memberi manfaat kebaikan bagi umat. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.”(QS Ar-Rum: 54).


Potensi tersebut seolah terbuang percuma, karena Gen Z tidak memiliki kesempatan untuk bekerja. Dampaknya tidak hanya pada kesejahteraan dirinya, tetapi juga pada para orang tua yang masih harus terus menanggung nafkah anak, yang sebenarnya sudah dewasa dan bisa hidup mandiri. Banyaknya pemuda yang menganggur juga akan menjadi masalah bagi masyarakat karena berpotensi memicu maraknya kriminalitas.


Faktanya, banyaknya pemuda tanpa kegiatan bukan semata disebabkan faktor diri Gen Z yang kurang tangguh, dan mudah menyerah ketika mengalami penolakan demi penolakan. Faktor yang lebih dominan adalah kegagalan Pemerintah dalam mencegah tingginya angka NEET. Kegagalan ini mewujud pada tiga hal, yakni pertama, Negara gagal menyiapkan para pemuda untuk menjadi sosok yang berkualitas melalui sistem pendidikan. Padahal, seharusnya sistem pendidikan mampu membentuk para pemuda menjadi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu untuk bekal mereka hidup. Selain itu, sistem pendidikan juga seharusnya mampu membentuk mental para pemuda sehingga tidak mudah menyerah meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Kedua, Negara gagal menyediakan pendidikan tinggi yang terjangkau oleh setiap rakyat. Saat ini, tingginya UKT menjadi sorotan banyak pihak. UKT di kampus Negeri naik secara gila-gilaan sehingga banyak pemuda yang gagal kuliah karena tidak mampu membayarnya. Ketiga, Negara gagal menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Pemerintah selama ini membanggakan proyek strategis nasional (PSN) bernilai triliunan rupiah dengan klaim akan menyerap tenaga kerja, tetapi hasilnya ternyata minim. Nilai investasi tidak sebanding dengan lapangan kerja, padahal berbagai regulasi sudah dikepras melalui UU Cipta Kerja demi memuluskan investasi. Begitu juga dengan pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) ternyata juga gagal menjamin tersedianya lapangan kerja untuk anak Negeri. Seharusnya bonus demografi berupa besarnya jumlah generasi muda diiringi dengan terbukanya lapangan kerja dalam jumlah besar. Namun sayangnya, bonus demografi kini justru menjadi tragedi demografi.


Kondisi yang berbeda 180° terjadi dalam sistem Islam. Sistem Islam (Khilafah) menjalankan isi Al-Qur’an dan Sunah yang menempatkan kekayaan alam, seperti tambang, hutan, sungai, laut, gunung, dan sebagainya sebagai milik umum sehingga haram diswastanisasi. Semua itu milik umum yang wajib dikelola Negara untuk kemaslahatan rakyat. Dalam rangka pengelolaan kekayaan alam tersebut, Negara Khilafah akan melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar. Kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas akan bisa dipenuhi karena Khilafah menyelenggarakan sistem pendidikan Islam yang menghasilkan output generasi berkepribadian Islam dan sekaligus memiliki kompetensi tertentu.


Pendidikan di dalam Khilafah bisa diakses oleh siapa pun karena gratis. Generasi muda bisa sekolah setinggi-tingginya tanpa terkendala biaya. Tidak hanya gratis, mereka bahkan mendapatkan fasilitas berupa asrama, makan, minum, pakaian, buku pelajaran, alat tulis, layanan kesehatan, dan transportasi. Dengan demikian, generasi muda tidak akan dipusingkan dengan UKT, BKT, SPI, biaya kos, makan, transport, buku, dan lain lain.


Generasi muda dalam Khilafah pun bisa memilih, apakah setelah lulus pendidikan dasar (ibtidaiah, mutawasithah, dan sanawiah) atau memutuskan bekerja sesuai kompetensinya, karena sistem pendidikan sudah mendidik mereka menjadi orang yang memiliki kompetensi tertentu, bahkan mereka bisa kuliah di perguruan tinggi, karena Negara menggratiskannya hingga level pendidikan tertinggi, yaitu doktoral (S3) yang mencetak para pakar. 


Dalam hal pembiayaan, Islam menjadikan SDA sebagai milik umum dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab Negara. Sehingga dalam pengelolaan SDA, Negara akan membuka lapangan pekerjaan yang banyak. Pendidikan juga disesuaikan dengan kebutuhan serapan tenaga kerja, tanpa melupakan tujuan mencetak generasi yang berilmu tinggi sebagai pembangun peradaban yang mulia. Inilah gambaran Negara Khilafah yang akan menyejahterakan para pemudanya. Mereka dijamin tidak menganggur dan bahkan mereka akan membaktikan segala potensinya untuk umat, sehingga menghasilkan berbagai penemuan yang bermanfaat untuk umat dan menghasilkan peradaban nan terdepan dalam kemajuan. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar