Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd (Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Lingkaran setan judi online sudah menjerat siapa saja, tidak hanya orang dewasa, kini judi online juga menyasar generasi muda, yakni para pelajar. Laporan terbaru PPATK menemukan 2,7 juta orang Indonesia berpenghasilan di bawah Rp100.000 per hari, terlibat judi online. Sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar. Menurut data PPATK, transaksi judi online 2017-2023 mencapai lebih dari Rp200 triliun. Bukan hanya kecanduan game online, anak-anak saat ini juga dikepung judi online berkedok game online. Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, bentuk aplikasi judi online kebanyakan mirip dengan game online sehingga terjadi gamifikasi perjudian pada era digital.
Jumlah warga RI yang bermain judi online tembus di angka 3 juta. Dalam diskusi daring "Mati Melarat Karena Judi," Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan ada sekitar 3,2 juta warga Indonesia yang bermain judi online. Menurut Usman Kansong, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, selama permintaan tinggi, disebutkan 3,2 juta orang Indonesia yang doyan atau terjerumus ke dalam judi, kalau permintaan masih tinggi maka suplai akan mencari jalannya sendiri secara teknologi, dikutip dari detikcom, Sabtu (15/6/2024).
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menyebut sepanjang 17 Juli 2023 hingga 21 Mei 2024 telah memblokir 1.904.246 konten judi online. "Pemblokiran rekening dan e-wallet terafiliasi judi online sudah 5.364 untuk rekening dan sudah 555 e-wallet diajukan ke Bank Indonesia," kata Budi Arie di Istana Kepresidenan. Besarnya keterlibatan rakyat Indonesia dalam judi sangat memprihatinkan. Semua terjadi karena kompleksitas persoalan hidup manusia dalam sistem kapitalisme. Kemiskinan seringkali menjadi alasan mereka terjun ke dunia judi. (tirto.id, Rabu, 22/5/2024).
Pemerintah pun memiliki kesadaran akan bahaya dan kerusakan yang bisa ditimbulkan dari judi online, sehingga membentuk satgas judi online. Sayangnya cara pandang atas persoalan ini dan solusi yang ditempuh tidaklah menyentuh akar permasalahan, semisal saran dari Kemenko PMK, Muhadjir yang mengusulkan korban judi online masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sehingga mereka layak diberikan advokasi serta memasukkan mereka ke dalam DTKS sebagai penerima bansos. Kemudian bagi mereka yang mengalami gangguan psikososial, akan diberikan pembinaan dan arahan.
Fakta kerusakan judi makin ngeri tatkala semua kalangan bisa menjadi pelakunya. Bahkan yang terbaru, seorang polisi yang dibakar hidup-hidup oleh istrinya (seorang Polwan di Mojokerto) yang berujung pada kematian, gara-gara gaji ke-13 nya digunakan untuk judi online. (Republika, 13/6/2024). Namun langkah cepat yang diambil oleh Pemerintah hanya dengan membentuk satgas judi online. Langkah ini pun turut mendapat perhatian dari pakar ilmu hukum pidana. Pakar Ilmu Hukum Pidana Khusus dari Universitas Jenderal Soedirman Prof. Agus Raharjo mengingatkan Pemerintah agar satuan tugas judi online dibentuk bukan sebagai reaksi terhadap kasus-kasus viral, seperti Polwan membakar suaminya. Jika hanya bersifat reaksi, nanti akan banyak perpres-perpres yang membentuk satgas-satgas. Justru yang harus dilakukan ialah mengevaluasi kembali kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas judi online. (Tempo, 14/6/2024).
Kondisi ini sungguh miris dan memprihatinkan. Bagaimana jadinya masa depan keluarga dan generasi jika akal, pikiran, dan perilaku mereka sudah terpapar judi? Apalagi personel polisi yang seharusnya bertindak tegas terhadap pelaku judi, justru termasuk kelompok yang rentan judi online. Sungguh dampaknya jelas tidak main-main, sebab judi bisa membahayakan keluarga, generasi, dan menghancurkan negara dan bangsa. Selain itu, perilaku bermasalah yang terjadi pada oknum penegak hukum akibat kecanduan judi online tentu memengaruhi kualitas pelayanan, perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum. Inilah salah satu potret buruk sistem kehidupan sekuler yang meminggirkan agama (Islam) sebagai pengatur kehidupan. Sistem ini menjadikan Islam cenderung dilupakan dan terlupakan, ibarat aturan usang dan terbuang.
Sungguh berbeda dalam Islam, Islam menetapkan judi sebagai perbuatan haram, dan negara harus mampu memberantasnya dengan tuntas dengan berbagai mekanisme yang dituntunkan Islam. Karena negara dalam Islam bertindak sebagai raa’in dan junnah bagi masyarakat dan dalam sepanjang sejarahnya, sistem Islam telah sukses mencetak generasi gemilang dengan segudang prestasi dunia dan akhirat. Islam telah berhasil mendidik generasi qur’ani, bukan generasi pecandu game atau judi. Secara gemilang, Islam sukses membentengi generasi dan masyarakat dari kemaksiatan, di antaranya:
Pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam di lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Dalam aspek keluarga, orang tua harus mendidik anak-anaknya menjadi hamba Allah yang taat, tidak bermaksiat, dan gemar beribadah. Anak-anak harus mengenal jati dirinya sebagai hamba Allah Ta'ala. Inilah tugas orang tua dalam mendidik anak-anak menjadi generasi saleh dan salihah. Kedua, masyarakat yang berdakwah, yakni masyarakat yang terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka tidak akan menoleransi perilaku maksiat di sekitarnya. Hal ini akan turut mendukung suasana keimanan di tengah masyarakat, yang menjadi tempat anak-anak tumbuh dan berkembang. Dengan begitu, anak-anak akan terjaga dari perilaku buruk dan menjadi pelajar taat. Ketiga, negara menerapkan sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam yang akan membentuk pola pikir dan pola sikap sesuai arahan Islam. Masyarakat akan memiliki standar perbuatan berdasarkan Islam, bukan hanya kesenangan materi, tetapi mereka akan memilih aktivitas yang Allah ridai.
Negara dalam sistem Islam juga akan menutup setiap akses judi online bagi seluruh rakyatnya. Negara akan melarang konten-konten yang memuat keharaman atau yang tidak mengedukasi masyarakat untuk taat. Sehingga tidak ada ruang bagi kemaksiatan dalam sistem Islam. Para penegak hukum yang tergabung dalam kepolisian pun juga akan diseleksi dengan sangat ketat, itu karena mereka adalah orang-orang yang menegakkan seluruh hukum Allah Ta'ala. Tanggung jawab mereka bukan hanya kepada negara, melainkan kepada Allah. Jika perangai dan akhlak mereka rusak, bagaimana mungkin bisa menjadi penegak hukum?
Selain itu, negara Islam akan memberi sanksi hukum yang memberi efek jera bagi setiap pelaku kriminal dan kemaksiatan. Negara juga akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dengan tiga kemudahan, yakni mudah dalam harga, mudah mencari nafkah, dan mudah mengaksesnya. Sehingga, tidak ada lagi alasan terlibat judi online karena masalah ekonomi. Tiga pilar penting ini tidak akan berjalan optimal tanpa penerapan sistem Islam kafah. Dengan penerapannya, maka akan terwujud individu bertakwa, masyarakat berdakwah, dan negara yang amanah dalam menjalankan perannya. Oleh karenanya, sejarah kegemilangan dan sederet catatan prestasi penegakan hukum dalam sistem Islam dapat kembali kita rasakan, jika kita bersama-sama memperjuangkan penegakan Khilafah. Wallahu a’lam bisshawab.
0 Komentar