Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Sengkarut Ibadah Haji, Terus Berulang Di Sistem Kapitalis

 


Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)


Berbagai pihak mengecam Kementerian Agama sebagai pengelola Ibadah Haji 2024. Pasalnya, sejumlah layanan kepada jemaah haji asal Indonesia dinilai memprihatinkan, terutama saat di Mina. Kritik keras teranyar disuarakan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet, dia meminta Kementerian Agama (Kemenag) dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), untuk bertanggung jawab atas kondisi jemaah haji Indonesia di Mina, Arab Saudi. Bamsoet merujuk pada hasil laporan Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI yang mengungkapkan, kondisi jemaah haji Indonesia di Mina yang sungguh memprihatinkan, terutama terkait persoalan tenda. Fasilitas yang dipergunakan jemaah haji RI tidak memadai, sehingga mereka terpaksa berdesakan. Fasilitas lain yang kurang memadai adalah tidak cukupnya toilet yang tersedia. Alhasil, jemaah harus antre berjam-jam. (Bisnis.com, 21/6/2024)


Ibadah haji sudah usai, namun masih menyisakan banyak permasalahan dalam banyak aspek, mulai dari kesehatan, imigrasi, hingga pelayanan Jemaah. Semua memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dengan aspek periayahan yang optimal. Oleh karena itu, Bamsoet menegaskan, MPR meminta Kemenag dan PPIH agar dapat memperbaiki persoalan yang terjadi di Mina dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan Ibadah Haji 2024. Harapannya, persoalan atau masalah yang terjadi di Tanah Suci tidak berulang pada penyelenggaraan ibadah haji tahun berikutnya sehingga jemaah dapat beribadah secara aman dan nyaman. Menyelenggarakan pelayanan haji tentu membutuhkan perencanaan matang, termasuk deteksi dini masalah yang kemungkinan muncul di tahap pelaksanaan. Kondisi ini sudah barang tentu menuntut koordinasi yang tidak sederhana, terlebih saat ini momentum haji merupakan ibadah yang membutuhkan komunikasi lintas Negara. Bagi kaum muslim, tentu saja ini merupakan salah satu permasalahan penting dan mendasar.


Penyelenggaraan haji harusnya berpijak pada prinsip pelayanan yang bersifat cepat, sederhana, dan profesional. Artinya, penyelenggaraan haji oleh Negara merupakan bagian dari pelayanan Negara kepada rakyat. Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam sehingga dalam pelaksanaannya, Negara wajib memerhatikan maksimalnya pelayanan yang diberikan kepada jemaah. Kalkulasi untuk semua kemungkinan yang terjadi saat penyelenggaraan merupakan bagian penting yang tidak boleh luput dari perhatian. Apalagi ini merupakan momentum tahunan, melakukan evaluasi berbagai kekurangan di tahun sebelumnya tentu merupakan perkara penting. Demikian pula saat Negara berani melobi otoritas Arab Saudi terkait jumlah jemaah yang akan Pemerintah berangkatkan, jumlah jemaah tentu harus sesuai dengan fasilitas yang Negara siapkan.


Selain rasa nyaman dalam melaksanakan ibadah haji, Negara juga perlu memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar para jemaah secara pasti dan menyeluruh, sebab ini bagian dari pelayanan Negara terhadap rakyat. Terlebih, masalah yang muncul saat penyelenggaraan tahun ini salah satunya karena penambahan kuota. Seharusnya, alasan over capacity sudah diantisipasi sejak awal. Jika antisipasi ada, idealnya tidak akan terjadi kondisi tenda yang over capacity, jemaah mengular hanya untuk memenuhi hajat di WC, ataupun telantar di tengah kondisi cuaca panas yang ekstrem. Seluruh masalah yang ada idealnya sudah dikalkulasi sejak awal. Ini adalah buah komersialisasi pengurusan akibat sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Penyelenggaraan ibadah haji tak luput dari ajang bisnis kelompok tertentu. Dampaknya jamaah tidak mendapatkan kenyamanan dalam beribadah di tanah suci. 


Hal ini perlu didudukkan, baik dari sisi paradigma hingga tataran taktisnya. Ini karena sesungguhnya Islam memiliki konsep keNegaraan yang khas dengan mendudukkan penguasa sebagai pengurus sekaligus pelindung rakyat. Paradigma yang hadir dalam sistem Islam berpijak pada prinsip ri’ayatus syu’unil ummah. Pengurus bermakna memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat secara menyeluruh. Adapun sebagai pelindung/perisai, Negara berada di garda terdepan dalam memberikan perlindungan terhadap rakyat. Dalam tataran taktisnya, Negara wajib menyelenggarakan pelayanan ibadah haji dengan cepat dan sederhana dengan dibantu tenaga profesional di setiap aspek penyelenggaraan. Implementasinya, Negara berperan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar para jemaah. Negara akan memastikan tidak ada jemaah yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (makan, minum, buang hajat, tempat yang layak). Juga memastikan para jemaah terlindungi dari segala yang bisa mengganggu kesehatan dalam menjalankan ibadah, entah karena cuaca ekstrem ataupun fasilitas yang kurang memadai.


Pada tataran taktis, Negara membentuk tim khusus berupa departemen yang mengurus urusan haji, dari pusat hingga ke daerah. Tersebab ini terkait dengan masalah administrasi, maka urusan tersebut bisa didesentralisasikan sehingga memudahkan calon jemaah haji. Dalam sistem pemerintahan Islam, Negara menyelenggarakan pelayanan dengan prinsip basathah fi an-nizham (sederhana dalam sistem), sur’ah fi al-injaz (cepat penanganan jika terdapat masalah) dan ditangani oleh tenaga profesional untuk memastikan terjaminnya pelayanan bagi jemaah.


Departemen ini mengurusi urusan haji mulai dari persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini bekerja sama dengan departemen lainnya, seperti Departemen Kesehatan dalam mengurus kesehatan jemaah, termasuk Departemen Perhubungan dalam urusan transportasi massal, maupun tenaga yang dibutuhkan jemaah di lapangan. Seluruh departemen bahu-membahu dalam penyelenggaraan ibadah haji.


Dalam sistem Islam, Khalifahlah (Kepala Negara) yang berwenang mengatur dan mengkoordinasikan penyelenggaraan haji dari pusat Kekhalifahan hingga ke daerah. Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum syarak mengenai kesatuan wilayah umat Islam yang berada dalam satu Negara. Atas dasar ini, seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Adapun visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga Negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan. Khalifah pula yang berwenang dalam menetapkan kuota jemaah haji bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia.


Untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan para jemaah saat penyelenggaaraan ibadah haji, khalifah memastikan tersedianya fasilitas maupun sarana prasarana dengan membangun infrastruktur yang dibutuhkan jemaah saat melaksanakan ibadah haji. Terlantarnya jemaah merupakan bagian dari tanggung jawab khalifah. Alhasil, Khalifah akan bekerja untuk umat dan memastikan terselenggaranya ibadah haji secara maksimal.


Ibadah haji adalah representasi pengurusan umat Islam seluruh dunia, tentu permasalahan berulang yang kerap menjadi keluhan para jemaah wajib diantisipasi. Mengurai masalah yang kerap muncul dalam penyelenggaraannya tidak cukup dengan melakukan evaluasi dalam tataran taktis, tetapi juga dengan paradigma sistem. Sudah seharusnya penyelenggaraan haji dilakukan dengan menghadirkan paradigma Islam kafah yang merepresentasikan kesatuan kaum muslim secara global dalam satu pengurusan seorang pemimpin Islam, yakni khalifah.Wallahu a’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar