Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Banjir Pakaian Impor Cina: Ancaman Kapitalisme bagi Industri Tekstil Nasional

Oleh: Indha Tri Permatasari, S. Keb., Bd. (Aktifis Muslimah)


Pusat Grosir Tanah Abang, Jakarta Pusat, tengah dibanjiri produk pakaian impor asal Cina. Hal ini terlihat jelas dari label-label pakaian yang bertuliskan karakter Cina dan "Made in China". Produk yang mayoritas berupa pakaian bayi dan anak ini dijual tanpa memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), padahal seharusnya wajib untuk produk anak-anak.


Dengan harga yang sangat murah, yaitu Rp20.000—Rp50.000 untuk pakaian anak dan Rp25.000—Rp35.000 untuk pakaian bayi, produk impor ini menarik banyak pembeli. Meski demikian, kualitasnya masih dipertanyakan, dengan jahitan yang mudah sobek dan bahan yang kasar serta kurang menyerap keringat. Namun, dari segi motif dan model, pakaian impor ini lebih beragam dan menarik, seakan memikat konsumen untuk membeli.


Fenomena ini tidak hanya terjadi di Tanah Abang. Beberapa waktu lalu, platform TikTok Shop juga menjadi sorotan karena menjual produk impor asal Cina dengan harga super murah. Para pedagang lokal pun mengeluh karena mereka sulit bersaing, meskipun telah mencoba menjual produk mereka secara daring.


Dampak dari banjirnya produk impor ini sangat terasa bagi industri tekstil nasional. Banyak pabrik tekstil terpaksa tutup, mengakibatkan PHK massal. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyatakan bahwa kondisi ini diperparah oleh pandemi Covid-19, inflasi global, dan konflik geopolitik. Selain itu, masuknya barang-barang impor murah, baik secara legal maupun ilegal, semakin memperburuk situasi.


Meski ada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang seharusnya menangani masalah ini, keberadaannya dinilai belum efektif. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan terkesan membiarkan kondisi ini dengan menyatakan bahwa pihak mana pun tidak boleh menyalahkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8/2024 jika industri tekstil rontok. Padahal, Permendag tersebut justru membuka lebar pintu impor, meski masih mensyaratkan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai dokumen impor produk tekstil.


Rencana pemerintah untuk mengenakan bea masuk sebesar 200% terhadap produk impor asal Cina pun diragukan efektivitasnya. Ini karena banyaknya produk impor ilegal yang masuk ke pasar. Solusi sistemis diperlukan untuk mengatasi masalah ini, bukan sekadar pembatasan yang bersifat parsial.


**Kegagalan Kapitalisme dan Perlunya Sistem Alternatif**


Fenomena ini mencerminkan kegagalan kapitalisme dalam menjaga daya beli masyarakat, iklim bisnis, dan keberlanjutan industri padat karya. Ketika pemerintah tampak "membiarkan" banjirnya produk impor, hal ini mengindikasikan arah keberpihakannya lebih condong kepada pengusaha importir ketimbang pengusaha lokal, apalagi masyarakat luas.


Sejatinya, peran negara adalah melindungi rakyat dan menjamin kebutuhan mereka, bukan menjadi perpanjangan tangan korporasi. Namun, dalam praktiknya, pemerintah justru lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang semakin menjauhkan negara dari fungsinya dalam melayani kepentingan rakyat.


Jika kita mencermati kondisi ini secara menyeluruh, solusi mendasar bagi perlindungan ekonomi rakyat adalah penerapan sistem Islam kafah di bawah naungan Khilafah. Sistem ini tidak hanya menghilangkan pembedaan antara kelas ekonomi, tetapi juga menjamin pemenuhan kebutuhan setiap individu tanpa memandang status sosial mereka. Selain itu, Khilafah juga melindungi warga dari arus liberalisasi pasar dan memastikan bahwa transaksi ekonomi dilakukan sesuai dengan syariat Islam, melarang praktik yang merugikan masyarakat seperti penimbunan, kecurangan, dan pematokan harga.


Industri tekstil hanya salah satu contoh sektor yang membutuhkan perhatian lebih dari negara. Dalam Khilafah, fungsi negara sebagai ra’in (pengurus urusan rakyat) akan berjalan optimal dengan penerapan sistem ekonomi Islam, yang mengatur perdagangan dalam dan luar negeri dengan cermat, melindungi industri strategis, serta memastikan kekayaan alam dikelola untuk kesejahteraan rakyat.


**Mekanisme Perlindungan dalam Khilafah**


Negara dalam sistem Khilafah tidak akan menjadikan usaha kecil menengah (UKM) sebagai tulang punggung ekonomi, melainkan akan fokus pada pengembangan industri strategis yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Negara juga akan mengelola sumber daya alam dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat, sehingga tidak ada ketergantungan pada produk impor.


Dalam pengaturan perdagangan, Khilafah memberlakukan hukum-hukum jual beli yang sesuai syariat. Pedagang yang merupakan warga negara boleh berdagang baik di dalam negeri maupun luar negeri, asalkan tidak melanggar hukum Islam. Jika ada komoditas ekspor impor yang berdampak buruk bagi rakyat, negara akan melarang perdagangannya. Selain itu, Khilafah juga akan memberlakukan cukai pada negara-negara yang memberlakukan hal serupa terhadap Khilafah.


Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, Khilafah tidak hanya melindungi rakyat, tetapi juga menciptakan iklim bisnis yang kondusif, termasuk dalam industri tekstil. Jika ada tanda-tanda pelemahan dalam industri lokal, Khilafah akan segera bertindak, memberikan dukungan berupa modal, infrastruktur, serta kebijakan yang memudahkan pengusaha lokal untuk bersaing.


Sebaliknya, sistem kapitalisme yang berlaku saat ini justru semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Pemerintah yang seharusnya melindungi, malah membebani industri lokal dengan berbagai pungutan, membuatnya semakin sulit bersaing dengan produk impor. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin industri tekstil dalam negeri akan benar-benar tumbang.


Wallahu a’lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar