Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Gaza dalam Bara Konflik: Di Manakah Kepemimpinan Dunia Islam?

Oleh: Ika Putri Novitasari, S.Pd.


Gelombang serangan udara yang kembali menghantam Jalur Gaza sejak akhir Juni 2025 memperpanjang daftar penderitaan yang dialami warga sipil di wilayah tersebut. Krisis yang terjadi ini telah berlangsung berbulan-bulan kini memasuki fase yang semakin memprihatinkan. Dalam situasi serba darurat ini, pertanyaan tentang keberadaan dan peran kepemimpinan dunia Islam semakin relevan untuk diajukan.


Menurut sumber, CNBC Indonesia, warga Palestina kurang lebih 68 penduduk disana dilaporkan meninggal dunia dalam serangan terbaru. Dari jumlah itu, 47 korban berasal dari wilayah Gaza City dan bagian utara Gaza, termasuk lima orang yang tewas ketika mencoba mengakses bantuan makanan di pusat distribusi yang dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF) di utara Rafah.


Kematian mereka bukan hanya akibat langsung dari serangan udara, melainkan juga mencerminkan kegagalan sistematis dalam menjaga hak-hak dasar manusia—akses terhadap pangan, tempat tinggal, dan rasa aman. Bahkan satu-satunya pabrik roti yang masih beroperasi di Gaza turut menjadi sasaran, sehingga memperparah krisis pangan yang telah berlangsung lama. Program Pangan Dunia (WFP) menggambarkan situasi ini sebagai kondisi di ambang kelaparan massal. Harga bahan pokok melonjak drastis, pasokan logistik terhambat, dan dapur umum yang selama ini menjadi tumpuan ribuan keluarga terpaksa menghentikan operasional karena ketiadaan suplai.


Tragedi ini bukan sekadar angka statistik. Di balik setiap korban, ada keluarga yang kehilangan, ada anak-anak yang trauma, dan ada komunitas yang dihancurkan. Namun ironisnya, dunia terlihat terlalu lambat untuk bersuara, apalagi bertindak. Sejumlah aksi solidaritas memang dilakukan, baik oleh individu maupun lembaga-lembaga kemanusiaan. Tetapi langkah-langkah itu belum mampu menekan agresi atau mengubah realitas di lapangan.


Kecanggungan komunitas internasional dalam merespons tragedi ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah dunia benar-benar tidak mampu menghentikan kekerasan, atau memang tidak memiliki kemauan politik untuk melakukannya? Yang lebih menyayat, sejumlah negara—termasuk di antaranya negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim—masih menjalin hubungan diplomatik dan kerja sama strategis dengan pihak yang jelas-jelas melakukan agresi.


Ketidaktegasan ini seringkali bersumber dari cara pandang yang memperlakukan isu Palestina semata-mata sebagai masalah kemanusiaan, bukan sebagai persoalan kolonialisme dan penjajahan yang melanggar hukum internasional. Pendekatan yang memisahkan konteks sejarah dan politik dari konflik Gaza akan selalu berakhir pada solusi-solusi tambal sulam, yang tak pernah menyentuh akar persoalan.


Dalam kondisi ini, muncul kembali diskursus yang telah lama tenggelam: perlunya suatu bentuk kepemimpinan dunia Islam yang mampu menyuarakan aspirasi umat secara tegas dan efektif di tingkat global. Diskusi ini tak jarang mengarah pada konsep khilafah, yakni sistem pemerintahan Islam yang memiliki akar sejarah panjang dalam peradaban Muslim.


Sebagai sistem kepemimpinan, khilafah dipandang oleh sebagian kalangan bukan hanya sebagai warisan sejarah, melainkan sebagai entitas politik yang mampu mengonsolidasikan kekuatan umat. Dalam situasi seperti Gaza, keberadaan struktur semacam itu diyakini dapat menghadirkan respon yang lebih komprehensif—mulai dari perlindungan nyata terhadap wilayah yang diserang, distribusi sumber daya secara mandiri, hingga penyusunan kebijakan luar negeri yang berlandaskan prinsip keadilan dan keberpihakan kepada kaum tertindas.


Namun, tentu saja pembahasan mengenai khilafah tidak dapat dilepaskan dari tantangan besar: persepsi negatif, tekanan geopolitik, dan fragmentasi umat Islam itu sendiri. Dunia Islam saat ini terdiri dari lebih dari 50 negara yang masing-masing memiliki kepentingan nasional yang berbeda-beda. Persatuan kerap menjadi wacana ideal tanpa realisasi nyata. Bahkan dalam forum-forum resmi seperti OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), respons terhadap tragedi Gaza sering kali terbatas pada pernyataan kecaman atau seruan damai, tanpa tindak lanjut strategis yang konkret.


Padahal, jika dilihat dari sisi potensi, umat Islam secara global memiliki kekuatan yang luar biasa. Jumlah penduduk Muslim di dunia mencapai lebih dari 1,9 miliar jiwa, tersebar di berbagai benua. Dunia Islam juga diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah, dari minyak dan gas di Timur Tengah, hingga hasil pertanian dan tambang di Asia dan Afrika. Sayangnya, potensi ini belum bisa dimanfaatkan secara kolektif karena ketiadaan koordinasi dan kepemimpinan yang menyatukan visi.


Refleksi atas kondisi Gaza semestinya menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali arah perjuangan umat Islam. Bukan hanya soal bantuan kemanusiaan, tetapi juga tentang visi politik jangka panjang yang mampu menjamin kedaulatan dan keselamatan umat. Dalam kerangka ini, diskursus tentang khilafah tidak lagi dapat direduksi sebagai romantisme masa lalu, melainkan sebagai salah satu alternatif sistem yang perlu dikaji ulang secara rasional, serius, dan bertanggung jawab.


Pertanyaan besar pun mengemuka: jika bukan umat Islam sendiri yang memperjuangkan kepentingan dan perlindungan atas wilayah-wilayah yang terjajah, siapa lagi yang akan melakukannya? Dan jika tidak sekarang mulai membangun kesadaran politik kolektif, kapan lagi?


Gaza mungkin hanya satu dari sekian banyak wilayah Muslim yang teraniaya. Namun, respons kita terhadap tragedi ini akan menjadi ukuran sejauh mana kita memiliki kepedulian, keberanian, dan arah perjuangan yang jelas. Dunia boleh menutup mata, tetapi umat Islam tidak bisa terus menutup hati.

Posting Komentar

0 Komentar