Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Aksi Gen-Z Bicara Perubahan, Potensi Besar Kebangkitan Umat

Oleh:Esnaini Sholikhah,S.Pd

(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)



Aksi demonstrasi, unjuk rasa, hingga berbagai aspirasi yang ramai disuarakan masyarakat di media sosial belakangan ini mencerminkan cara generasi Z (Gen Z) merespons tekanan. Psikolog Anak dan Remaja, Anastasia Satriyo, M.Psi., Psikolog, menilai Gen Z memiliki mekanisme tersendiri dalam menghadapi tekanan, yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Melalui akun Instagram pribadinya, @anassatriyo, Anastasia membagikan refleksi terkait fenomena tersebut. “Hari-hari ini saya belajar tentang kepribadian Gen Z Indonesia dan ekspresi diri mereka, yang mungkin cukup berbeda dengan kita, generasi Millennial, Gen X, apalagi Boomers,” tulis Anastasia pada Selasa (Kompas.com, 2/9/2025)


Pendapat lain, Psikolog Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim, menyoroti fenomena meningkatnya jumlah anak di bawah umur yang ikut aksi demonstrasi. Menurutnya, meskipun demo bisa jadi ajang belajar menyampaikan pendapat, remaja rentan terprovokasi karena kontrol diri mereka belum matang. Remaja cenderung ingin terlihat keren dan berani di depan teman-temannya atau publik. Hal ini bisa bikin mereka bertindak impulsif, apalagi dalam situasi massa yang penuh tekanan dan emosi. (InfoRemaja.com, 2/9/2025)


Pengklasifikasian karakteristik generasi (Gen-Z) berdasarkan ilmu psikologi diarahkan untuk sesuai dengan mind set kapitalisme dalam menghilangkan kesadaran politik, lebih fokus pada pendekatan spesifik Gen-Z (cara mempertahankan nilai dan identitas mereka sekaligus meminimalkan eskalasi konflik). Pada kenyataannya, sistem politik demokrasi makin menampakkan kebobrokannya. Semangatnya membagi kekuasaan dengan dalih mencegah otoritarianisme, ternyata malah mewujudkan oligarkisme. Asasnya yang sekuler juga malah menjadikan agama tersingkir untuk mengatur urusan negara. Inilah pangkal keburukan demokrasi yang pada akhirnya melahirkan aturan yang rapuh, tumpang tindih, dan bermasalah, karena lahir dari akal manusia yang lemah dan terbatas.


Makna politik pun dinisbatkan sebatas pada perebutan kekuasaan. Politik transaksional ini menjadikan kekuasaan dipegang oleh sekelompok kecil pemilik modal. Merekalah yang pada hakikatnya mengendalikan kebijakan dalam pemerintahan. Kesadaran politik harus dimulai dengan memahami akar persoalan yang terus-menerus menimpa umat di negeri ini. Sejak awal kemerdekaan hingga hari ini, kesejahteraan malah makin menurun. Kendati pemimpin kita sudah sering berganti, baik itu dari kalangan militer, sipil, intelektual, bahkan ulama, namun semuanya bisa kita katakan gagal membawa kesejahteraan.


Islam memahami bahwa karakteristik manusia sejak awal penciptaannya memiliki naluri baqa dalam menolak kezaliman dan membutuhkan solusi yang menghilangkan kezaliman. Islam memandang fitrah manusia yang memiliki khasiatul-insan untuk mendapatkan pemenuhan dengan tuntunan syarak, bukan tuntunan psikologi. Islam juga mengatur muhasabah lil hukkam dengan mekanisme yang sama dari sejak Rasulullah saw.Allah SWT berfirman: 

اُدْعُ اِÙ„ٰÙ‰ سَبِÙŠْÙ„ِ رَبِّÙƒَ بِالْØ­ِÙƒْÙ…َØ©ِ ÙˆَالْÙ…َÙˆْعِظَØ©ِ الْØ­َسَÙ†َØ©ِ ÙˆَجَادِÙ„ْÙ‡ُÙ…ْ بِالَّتِÙŠْ Ù‡ِÙŠَ اَØ­ْسَÙ†ُۗ اِÙ†َّ رَبَّÙƒَ Ù‡ُÙˆَ اَعْÙ„َÙ…ُ بِÙ…َÙ†ْ ضَÙ„َّ عَÙ†ْ سَبِÙŠْÙ„ِÙ‡ٖ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ اَعْÙ„َÙ…ُ بِالْÙ…ُÙ‡ْتَدِÙŠْÙ†َ ۝١٢٥


Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125) 


Rasulullah saw bersabda, “ Hamzah adalah sayyid (pemimpin) para syuhada di hari Kiamat dan (juga) seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahkannya (kepada kebaikan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya."


Nyatanya, umat Islam punya sejarah panjang hidup dalam sebuah peradaban cemerlang. Kekuatan, kejayaan, persatuan hakiki, kesejahteraan, kemajuan material dan ilmu pengetahuan begitu lekat dengan kehidupan umat Islam. Bukan hanya klaim sepihak, tetapi didukung berbagai pengakuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Bukan cuma satu dua abad perjalanan, apalagi sekadar kebetulan, melainkan hingga belasan abad kepemimpinan yang dengan sadar diperjuangkan dan dipertahankan.


Will Durant dalam buku yang ia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, misalnya mengatakan, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Potensi pemuda sejak masa Rasulullah saw. sebagai garda terdepan dalam melakukan perubahan secara hakiki (taghyir). 


Dengan ini, Gen Z harus mampu meneropong semua itu dengan kacamata sistem, bahwa persoalan di negeri ini begitu kompleks. Berganti-ganti kepala negara maupun kepala daerah tidak akan mampu menyelesaikan masalah. Sebabnya, yang harus diganti adalah sistemnya yang sudah rusak dan juga merusak. Dari sini jelas bahwa akar persoalan runyamnya kehidupan di negeri ini adalah penerapan sistem demokrasi itu sendiri. Menggunakan sistem demokrasi sama saja dengan turut melanggengkan permasalahan.


Inilah urgensitas mengganti sistem demokrasi menjadi sistem politik Islam. Menggunakan kacamata akidah, sistem politik Islam adalah perintah Allah Swt. dalam rangka menerapkan hukum Allah secara kafah di semua level, termasuk negara. Untuk itu, memperjuangkan runtuhnya sistem saat ini sekaligus mengembalikan sistem Islam merupakan perjuangan politik yang agung.


Gen Z wajib melek politik agar bisa melihat dengan jelas kebobrokan sistem demokrasi. Sistem demokrasi kapitalisme hari ini telah membajak potensi besar anak muda dengan menjadikannya sebatas aset ekonomi serta target bisnis konsumtif dan hedonis. Kedudukan mereka tidak lebih mulia dari faktor produksi lainnya, seperti modal dan tanah. Jika ada Gen Z yang tidak menghasilkan materi, mereka dianggap tidak produktif.


Berbeda dengan cara pandang Islam terhadap manusia, termasuk Gen Z. Islam memandang bahwa manusia adalah objek yang harus diurus seluruh kebutuhan hidupnya oleh negara. Para pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara kafah akan benar-benar mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, agar hidup sejahtera, Gen Z membutuhkan tegaknya negara yang berasaskan akidah yang sahih, yakni Khilafah Islamiah.


Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak oleh demokrasi yang hanya menghargai mereka menurut jumlah suaranya di TPS saja. Gen Z yang terkenal kreatif sesungguhnya akan mampu membuat berbagai terobosan baru agar pemahaman Islam kafah bisa diakses dan dipahami oleh masyarakat luas.


Gen Z yang disebut juga digital native akan mampu mewujudkan dunia maya sebagai wasilah dakwah untuk mengubah dunia. Ia tidak akan terbawa arus sesat media sosial yang saat ini disetir oleh Barat. Bahkan, ia bisa menjadi trendsetter bagi kalangannya untuk hijrah secara total bersama-sama.


Gen Z harus melek politik dengan memahami Islam secara kafah. Gen Z jangan terjebak dalam demokrasi yang hanya membajak potensi besarnya sebagai khairu ummah (umat terbaik). Gen Z harus berada di garda terdepan dalam perjuangannya menerapkan Islam secara kafah. Pada titik inilah potensi Gen Z sebagai agen perubahan akan benar-benar teroptimalkan. Wallahualam bisshawab.

Posting Komentar

0 Komentar