Oleh: Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Akhir-akhir ini istilah fatherless ramai diperbincangkan terutama di sosial media, khususnya di kalangan Gen Z. Istilah ini kerap digunakan untuk menggambarkan fenomena anak yang tumbuh tanpa kehadiran atau peran aktif seorang ayah di kehidupan sehari-harinya. Banyak faktor yang dapat menyebabkan fenomena ini, bukan hanya karena perceraian atau ditinggal pergi, tetapi juga karena banyak ayah yang hadir secara fisik tapi absen secara emosional. Fenomena inilah yang akhirnya melahirkan istilah baru, yaitu fatherless dan memicu diskusi luas tentang dampaknya terhadap perkembangan anak, baik secara psikologis maupun sosialnya. Di Indonesia, masih banyak orang yang beranggapan jika mengasuh anak hanya tanggung jawab dan tugas ibu saja. Padahal, mengasuh anak tidak boleh dibebankan kepada ibu saja, tetapi peran dan kehadiran seorang ayah juga diperlukan.(JawaPosRadarMojokerto, 11/9/2025)
Di Indonesia, fenomena fatherless mendapat sorotan karena dianggap cukup tinggi. Jutaan anak Indonesia mengalami Fatherless, yaitu ketiadaan peran ayah baik secara biologis maupun psikis. Beberapa sumber bahkan menyebutkan jika Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat fatherless yang signifikan di Asia. Di Indonesia, fenomena 'fatherless' telah menjadi perhatian khusus. Isu fatherless sempat menjadi trending di media sosial. Ini dipicu oleh hasil penelitian yang menyebut Indonesia berada di peringkat ketiga, sebagai negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia. Menurut data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2021, sekitar 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. Hal ini kemudian didukung oleh data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2021, yang menyatakan bahwa dari jumlah anak usia dini di Indonesia yang mencapai 30,83 juta jiwa, sekitar 2,67% atau 826.875 anak tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandung, sementara 7,04% atau 2.170.702 anak hanya tinggal bersama ibu kandung. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa sekitar 2.999.577 anak usia dini di Indonesia, tidak tinggal bersama dengan ayahnya dan telah kehilangan sosok ayah.(www.winnicode.com, 11/03/2025)
Generasi fatherless tidak lahir dari ruang hampa, tapi buah sistem kapitalisme sekuler. Para ayah tersita waktunya untuk memenuhi kebutuhan nafkah, sehingga waktu untuk membersamai anak minim. Hilangnya fungsi qawwam dalam diri para ayah, baik sebagai pemberi nafkah dan pemberi rasa aman bagi anak. Muncul respon dari berbagai kalangan muncul menanggapi kondisi fatherless ini, baik dari yang mengalami maupun pandangan para ahli. Namun Islam memandang bahwa seorang suami atau ayah adalah pemimpin keluarga. Ia yang paling bertanggung jawab menjaga dan mengurus keluarga. Rasulullah SAW. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya.“ (HR Bukhari). Allah SWT. juga hal ini di dalam firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At-Tahrim: 6).
Dalam ayat ini, kepala keluarga wajib memastikan diri dan keluarganya selamat dari neraka. Ini menunjukan bahwa orientasi penjagaan tersebut bukan hanya penjagaan yang bersifat duniawi, tetapi juga ukhrawi. Meski seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, seorang suami atau ayahlah penanggung jawab atas pendidikan istri dan anaknya. Bukan hanya berkaitan dengan biaya pendidikan, tetapi juga terkait materi dan muatan pendidikan tersebut. Dengan demikian, tidak benar jika urusan pendidikan anak hanya dibebankan pada seorang ibu. Ayah pun berandil besar menentukan pendidikan anak-anaknya sehingga mereka menjadi generasi beriman kukuh, berkepribadian Islam handal, cerdas, dan siap berjuang untuk Islam.
Ibnu Qoyyim rahimahullah secara tegas mengingatkan dalam kitab Tuhfatul maudud bahwa penyebab utama rusaknya generasi hari ini adalah karena ayah. Beliau mengatakan, “Betapa banyak orang yang menyengsarakan anaknya, buah hatinya di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya, tidak mendidiknya, dan memfasilitasi syahwat (keinginannya). Beliau mengingatkan kita semua, terutama para ayah, agar introspeksi diri. Sudahkah benar-benar memberi perhatian kepada anak? Sudahkah mendidik anak sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ? Sudahkah memenuhi impian dan harapan anak terhadap orang tuanya? Kadang, orang tua justru memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, jarang mendengarkan, serta menanyakan harapan dan keinginan mereka saja.
Seorang anak senantiasa membutuhkan ayahnya bukan terkait kebutuhan materi semata. Akan tetapi anak butuh perhatian, bimbingan, nasihat, senyuman, dekapan hangat penuh kasih sayang, atau digendongan walaupun sebentar. Rasulullah SAW. mencontohkan untuk kita semua, dari Abdullah bin Ja’far ra. berkata, “Apabila Rasulullah SAW. pulang dari bepergian, biasanya beliau disambut oleh anak-anak dan anggota keluarganya. Suatu hari, beliau pulang dari bepergian, aku lebih dahulu menyambut beliau, maka aku digendongnya. Kemudian, salah seorang anak, Fathimah ra. menyambutnya. Ia pun digendongnya di belakang. Kemudian, kami bertiga memasuki kota Madinah di atas binatang tunggangan.” (HR Muslim)
Hal seperti ini, yang hari ini menimpa para ayah. Sesungguhnya, ayah bersama ibu berperan penting dalam proses pendidikan anak, sehingga terwujud generasi handal berkepribadian Islam. Generasi yang menjadikan kecintaan kepada Allah di atas segalanya dan menjadikan rida Allah sebagai tujuannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan seorang ayah sehingga ia selalu ada bagi anak-anaknya, diantaranya:
1. Memahami bahwa anak adalah anugerah dan amanah dari Allah Taala.
Dengan memahami bahwa anak adalah amanah dari Allah, ayah akan paham bahwa kehadiran anak bukan untuk kehidupan di dunia semata, melainkan juga untuk kehidupan di akhirat. Dengan demikian, ayah akan berusaha keras berlaku baik dan selalu ada untuk anak-anaknya. Ayah tentu berharap agar anaknya saleh/salihah, mandiri, mampu mengarungi kehidupan dengan baik, serta siap mengemban dakwah, dan memperjuangkan Islam.
2. Memenuhi hak anak.
Sudah seharusnya seorang ayah paham bahwa ia adalah penanggung jawab keluarga. Ia wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Nabi SAW. bersabda, “Makanan yang kamu berikan untuk anakmu, dinilai sebagai sedekah. Begitu juga makanan yang kamu berikan bagi istrimu, bernilai sedekah untukmu. Termasuk makanan yang kamu beri untuk pembantumu, adalah juga sedekah.” (HR Ahmad)
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda, “Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau belanjakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu, yang paling agung pahalanya adalah yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu.” (HR Muslim)
Selain nafkah, ada kewajiban lain yang harus dipenuhi seorang ayah, yang akan membawanya kepada pahala yang besar dan dapat meraih surga. Ayah harus melindungi anak dengan akhlak mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Dalam menjalankan perannya, seorang ayah tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku, dan kasar terhadap anak-anak dan istrinya.
3. Berkomunikasi intens dan berkegiatan bersama anak.
Komunikasi yang baik dapat membangun hubungan yang baik, terlebih jika dilakukan secara langsung atau komunikasi verbal. Hal ini akan membuat hubungan ayah dan anak makin dekat dan baik karena didasari rasa saling percaya, jujur, dan terbuka. Saling berkomunikasi diantara anggota keluarga sangat diperlukan. Bahkan, hal ini dianjurkan oleh Islam dan dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Islam memerintahkan kita bergaul secara makruf, saling menasehati, dan beramar makruf nahi mungkar sehingga kehidupan keluarga tenteraman dan bersahabat.
Keberkahan akan melimpah pada keluarga kita. Sabda Rasuluah SAW. dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW. pernah mengadu, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan, tetapi tidak merasa kenyang. Nabi bersabda, ‘Mungkin kalian makan sendiri-sendiri.’ “Betul,’ kata para sahabat. Nabi lantas bersabda, ‘Makanlah bersama-sama dan sebutlah nama Allah sebelumnya, tentu makanan tersebut akan diberkahi'”. (HR Abu Daud)
4. Menjadi teladan bagi anak.
Bagaimanapun anak-anak membutuhkan teladan (qudwah) yang baik, bahkan hingga ia dewasa. Oleh karenanya, ayah dan ibu harus selalu memberi contoh yang baik kepada anak. Dengan demikian, akan tertanam dalam jiwa mereka benih-benih kebaikan yang akan terhunjam dan terbawa dalam setiap sikap dan perilaku mereka bahwa syariat Islam harus diterapkan.
5. Mendoakan anak.
Beberapa hadist Rasulullah SAW. menjelaskan kepada kita, bahwa diantara doa yang mustajab adalah doa yang diucapkan oleh orang tua untuk anaknya, baik doa kebaikan maupun doa keburukan. Dari Anas bin Malik ra., Rasulullah SAW. bersabda, “Ada tiga doa yang tidak tertolak, yakni doa orang tua (kepada anaknya), doa orang yang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.” (HR. Al Baihaqi)
Beberapa ulama meyampaikan pendapatnya tentang hadist-hadist yang menunjukkan mustajabnya doa orang tua kepada anaknya, baik doa ayah, maupun doa ibu. Dalam Islam, ayah dan ibu sama-sama punya fungsi penting. Ayah sebagai pemberi nafkah dan teladan dalam pendidikan anak (teladan kisah Lukman). Ibu juga punya peran penting dalam hal mengasuh, menyusui, mendidik dan mengatur rumah tangga. Negara akan mensupport peran ayah dengan membuka lapangan kerja dengan upah layak, memberikan jaminan kehidupan, sehingga ayah bisa memiliki waktu yang cukup bersama anak. Sistem perwalian dalam Islam akan menjamin setiap anak akan tetap memiliki figur ayah. Demikianlah, betapa pentingnya posisi ayah bagi anak-anaknya. Bagaimanapun, anak-anak membutuhkan sosok dan figur ayah dalam kehidupannya, selain sosok ibu. Jangan sampai hal ini dianggap kecil, bahkan diabaikan. Islam telah mengajarkan kepada kita agar kelak lahir anak-anak saleh salihah berkepribadian Islam yang handal. Akhirnya, mereka akan bahagia di dunia maupun di akhirat, dengan hasil bimbingan ayah dan ibunya. Wallahu a'lam bisshowwab.
 


 
 
 
0 Komentar