Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)
Setelah berpolemik dengan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Disusul dengan pembiyaan KPK oleh panitia. Lalu akhirnya muncul surat resmi dari pimpinan KPK. Jika per tanggal 30 September 2021 56 pegawai diberhentikan setelah dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai bagian dari alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Bukan hal mustahil jika pelan-pelan pemberantasan korupsi dimatikan. Secara sistemis, maupun ideologis. Nurani publik sendiri masih belum menerima keputusan pemberhentian itu. Pasalnya, mereka bukan pegawai yang tidak loyal. Justru atas keloyalitasannya mereka menuai prestasi yang belum tentu disamai lainnya.
Jika maksud pemberhentian itu lebih bermakna politis, maka ini bisa dianalisis beberapa hal:
Pertama, KPK bukan lagi lembaga independen. Kepentingan politik oligarki kekuasaan lebih di atas segalanya. Hal ini tampak sejak pemilihan ketua KPK dan agenda berikutnya berupa revisi UU KPK.
Kedua, KPK yang selama ini digadang menjadi lembaga independen dalam pemberantasan korupsi tampaknya sudah kehilangan ruh. Aura pemberantasan korupsi yang diharapkan menyentuh kelas kakap kini tinggal kisah. Koruptor pun berpesta. Sementara rakyat terus menderita.
Ketiga, penyelewengan kekuasaan tampaknya sudah menjangkiti rezim. Pihak legislatif yang seharusnya memengang peranan penting, tampaknya tak bergeming. Diskusi perihal pemberantasan korupsi sudah sering dilakukan, namun aplikasi dari penegak hukum dan pembuat aturan masih enggan.
Oleh karena itu, tragedi berdarah G30S KPK ini akan dicatat dalam sejarah kelam pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi yang sudah mengakar dari hulu hingga hilirnya ke depan tak lagi terbendung. OTT pun akan menyasar koruptor kelas teri. Penguasa akan menyiapkan aturan yang lebih menguntungkan syahwat politiknya untuk melanggengkan kekuasaan.
Tak heran, negeri yang sedang menuju pembaharuan lebih baik ini harus mundur ke belakang. Sementara oligarki politik dan ekonomi terus bergerilya menyiapkan pion di kursi kekuasaan. Karenanya, perlu ada perubahan paradigmatik di tengah publik. Jika rezim saat ini tak bisa lagi diharapkan memberantas korupsi, lantas kepada siapa lagi?
Mari wujudkan pergerakan besar menuju kepada sistem dari Allah SWT. Publik pun dibuat capek dengan aturan yang terus membelenggu bahkan menyulitkan. Orang baik dalam sitem yang salah bisa jadi salah. Akibatnya, kedzaliman itulah yang berkuasa. Yuk, pikirkanlah.
0 Komentar