Salsabila, pemerhati generasi
Baru-baru ini, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komite Fatwa Produk Halal menemukan sebanyak 151 nama produk bermasalah yang mendapatkan sertifikat halal dari badan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag).
Hal ini ditemukan dalam momen pertemuan konsolidasi antara dengan BPJPH, Komisi Fatwa MUI, dan Komite Fatwa Produk Halal untuk menindaklanjuti produk dengan nama "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" yang mendapat sertifikat halal dari lembaga di bawah naungan Kemenag (cnnindonesia.com, 09/10/2024).
Polemik Sertifikasi Halal
Munculnya beberapa produk pangan yang berasosiasi dengan minuman beralkohol dan nama makhluk halus yang mendapatkan sertifikat halal ini,ll tidak dapat dianggap sepele karena akan menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem jaminan produk halal yang diterapkan di Indonesia dan makin mengikis kepercayaan publik pada pemerintah sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Pemerintah dinilai kurang teliti dalam memberikan sertifikat halal tersebab tidak satu-dua kali kasus produk pangan yang ternyata haram malah dilabeli halal. Kasus serupa terjadi pada miras merek Nabidz yang jelas mengandung etanol 8,8% pada 2023.
Ditambah lagi, membanjirnya produk pangan dari luar negeri yang notabene bukan dari negeri muslim. Wajar jika publik menduga adanya lahan bisnis atas nama sertifikasi halal. Sebab, prosedur mendaftarkannya pun merogoh uang yang tidak sedikit.
Sertifikasi Halal ala Sekuler-Kapitalisme
Jaminan Sertifikasi halal adalah tugas pemerintah (Negara) dan menjadi hak umat yang mayoritas penduduknya muslim.
Namun, pemerintah telah gagal fokus terhadap kebutuhan umat. Umat sangat berharap dengan adanya sertifikat halal, mereka akan lebih mudah memilah antara produk-produk yang bisa dikonsumsi dengan yang tidak tersebab keharamannya. Ini sungguh menyedihkan, produk pangan haram yang beredar di pasaran nyatanya semakin banyak. Bahkan baru-baru ini ada seorang kepala daerah yang membolehkan ada pameran pangan nonhalal.
Sebaliknya, pemerintah malah fokus pada bisnis. Lihat saja, UMKM wajib bersertifikat halal agar bisa masuk ke pasar internasional. Berbagai cara pun mereka lakukan agar punya sertifikat halal sehingga pada akhirnya label halal hanya untuk mendongkrak penjualan, alih-alih petunjuk bagi kaum muslim.
Ini semua karena pemerintah menjadikan sistem pemerintahannya berlandaskan pada asas sekuler kapitalisme. Seluruh kebijakannya terbit bukan berdasarkan pada standar halal-haram melainkan berdasarkan keuntungan semata.
Dan dalam sistem sekuler kapitalisme meniscayakan minimnya peran negara melindungi umat, Negara hanya bertindak sebagai regulator dengan kebijakan yang tidak memperhatikan kepentingan umat.
Pemerintah juga nyata-nyata tidak peduli rakyatnya hidup dengan ketakwaan atau penuh dengan kemaksiatan. Sektor kemaksiatan justru terus dikembangkan demi memperbesar pemasukan kas negara.
Solusi Dalam Islam
Dalam Islam, negara Islam (Khilafah) memiliki fungsi sebagai pengatur dan pelindung umat. Khilafah akan menjamin ketersediaan dan keterpenuhan pangan halal hingga level individu per individu. Semua ini karena landasan negaranya adalah akidah Islam bukan kemanfaatan. Akidah Islam menjadikan para pemimpin dalam Khilafah berhukum dengan syariat secara kaffah. Dengan demikian, jaminan pangan halal adalah perkara yang wajib dilakukan oleh Khilafah.
Selain itu, Khilafah berkewajiban untuk menjaga rakyatnya agar terus dalam suasana ketakwaan. Berbagai sarana yang mengantarkan pada kemaksiatan akan dicegah dan dilarang.
Khilafah bertanggung jawab dalam pengawasan pangan, agar yang beredar di tengah masyarakat hanya produk halal.
Adapun standar halal-haram produk wajib bersandar pada Al-Quran dan Sunnah, baik dari sisi zatnya, prosesnya, hingga penamaannya tidak boleh melanggar syariat. Sedangkan mekanismenya, bisa dengan sertifikasi halal atau bentuk lainnya yang akan dikaji mendalam oleh khalifah terkait efektivitas pengawasan pangan halal. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya.” (HR Ahmad).
Selain itu, penegakan hukum dalam Khilafah bersifat menjerakan kepada tiap pihak yang berani mengedarkan produk pangan haram di pemukiman kaum muslim. Dengan ini, tidak akan ada yang berani untuk membeli atau pun menjual pangan haram seperti khamar, karena produsen, penjual, pembeli, maupun kurirnya akan dikenai sanksi. Ali bin Abi Thalib ra. meriwayatkan, “Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim).
Sedangkan penjual dan produsen khamar dapat dikenai sanksi yang lebih berat, termasuk hukuman cambuk, denda, atau penjara. Sanksi ini bisa lebih berat lagi karena penjual dianggap berkontribusi pada penyebaran kemaksiatan.
Alhasil, jaminan pangan halal dalam Khilafah akan memastikan semua produk pangan yang beredar adalah yang halal saja. Penerapan hal ini didukung oleh tiga pilar, pertama, ketakwaan individu, yang akan menjadi kontrol internal pada setiap individu agar tidak melakukan kemaksiatan termasuk menjual, mengedarkan, dan mengonsumsi produk pangan haram. Kedua, kontrol masyarakat. Dengan adanya adanya kontrol masyarakat, segala jenis kemaksiatan termasuk peredaran produk pangan haram bisa dengan mudah terdeteksi. Ketiga adalah penegakan aturan tegas oleh negara. Ketiga pilar inilah yang akan mendukung terwujudnya masyarakat yang beriman dan bertakwa. Inilah gambaran umum kebijakan Khilafah dalam mewujudkan sistem jaminan pangan halal.
0 Komentar