Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Ruang Digital Aman, dengan PP TUNAS, Apakah Tuntas?

Oleh: Nisrina, S.I.P.


Demi menjawab ancaman digital yang makin kompleks terhadap anak-anak, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025, dikenal sebagai PP TUNAS—Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak. Kehadiran aturan ini diakui sebagai langkah penting. Ia mewajibkan platform digital untuk menyediakan verifikasi usia, mengelompokkan akun anak berdasarkan kategori umur, hingga membatasi pengumpulan data pribadi dan paparan konten yang berisiko. Bahkan, regulasi ini telah diperkenalkan ke forum global International Telecommunications Union (ITU) sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam menciptakan ruang digital yang lebih aman bagi generasi muda.


Namun muncul pertanyaan penting: apakah kehadiran PP TUNAS benar-benar tuntas menjawab kebutuhan perlindungan anak di dunia digital?


Dalam perspektif administrasi publik, khususnya teori New Public Service yang dikembangkan oleh Denhardt & Denhardt (2000), negara seharusnya tidak hanya berperan sebagai pengatur (rule maker), tetapi juga sebagai pelayan publik yang aktif melibatkan nilai-nilai moral dan kepentingan publik dalam setiap kebijakan. Perlindungan anak di dunia digital bukan hanya soal regulasi, tetapi juga soal bagaimana negara menempatkan kebutuhan rakyat sebagai prioritas utama.


Faktanya, tantangan utama yang dihadapi anak-anak bukan hanya soal teknis. Ancaman terbesar justru datang dari sistem nilai yang rapuh dan tidak berlandaskan keimanan. Kemajuan teknologi yang begitu pesat tidak diimbangi dengan kesadaran iman dan ketundukan kepada aturan Allah. Akibatnya, teknologi berubah menjadi alat yang liar, tak terkendali, bahkan membahayakan. Saat ini kita menyaksikan peningkatan kejahatan digital yang makin mengerikan—mulai dari penyebaran konten pornografi anak, eksploitasi seksual online, hingga perundungan dan penipuan yang menyasar anak dan perempuan. Kasus-kasus ini bukan hanya meningkat dalam jumlah, tetapi juga dalam kadar kebrutalannya. Maka, meskipun PP TUNAS memuat berbagai ketentuan penting, ia tetap bergerak di permukaan jika tidak dibarengi dengan sistem yang membangun ketahanan moral dan spiritual yang bersumber dari keimanan.


Di sisi lain, efektivitas PP ini sangat bergantung pada kemampuan negara dalam menegakkan hukum terhadap raksasa platform digital yang selama ini sulit disentuh. Bagaimana menjamin verifikasi usia? Siapa yang akan mengawasi algoritma konten? Bagaimana menyaring teknologi manipulatif seperti pornografi anak berbasis AI yang kian meluas? Semua ini tidak cukup dijawab oleh satu regulasi. Dalam konteks ini, perspektif Digital-Era Governance (DEG) sangat relevan. Teori ini menekankan pentingnya integrasi teknologi dengan pelayanan publik yang benar-benar responsif terhadap kebutuhan masyarakat, bukan sekadar digitalisasi prosedural.


Lebih dari itu, perlu diakui bahwa sistem pendidikan kita pun belum memberi ruang yang cukup untuk membekali anak dengan kemampuan memilah informasi berdasarkan nilai. Banyak anak dibesarkan dalam lingkungan digital tanpa pendampingan, karena orang tua pun menghadapi tantangan serupa. Beban ekonomi, kurangnya waktu, dan arus digital yang begitu cepat sering membuat pengasuhan terlepas dari kontrol. Padahal keluarga adalah benteng pertama yang seharusnya kuat dalam menjaga akidah dan akhlak anak.


Karena itu, ruang digital yang aman hanya mungkin terwujud jika negara tidak sekadar bertindak sebagai regulator, tetapi benar-benar hadir sebagai junnah (pelindung)—sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah junnah, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Negara seharusnya bukan hanya membuat aturan, tetapi juga menyediakan sistem nilai yang menjaga akidah, akhlak, dan masa depan rakyatnya, termasuk anak-anak dan perempuan.


Namun perlindungan yang menyeluruh tak mungkin lahir dari sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem seperti ini hanya mampu melahirkan kebijakan tambal sulam—yang lebih digerakkan oleh tekanan ekonomi dan politik daripada tanggung jawab moral di hadapan Allah.


Sebaliknya, Islam hadir bukan hanya sebagai agama spiritual, tapi sebagai sistem hidup yang sempurna—dengan aqidah sebagai fondasi keyakinan, dan syariat sebagai pedoman aturan kehidupan. Ia mengatur seluruh aspek: dari pendidikan, sosial, keluarga, hingga pemerintahan dan bahkan dunia digital.


Sebagaimana firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)..." (QS. Al-Baqarah: 208)


Artinya, solusi Islam tidak bisa dipraktikkan secara parsial. Ketika hanya diambil sebagian, sementara sebagian lainnya diabaikan, maka kerusakan akan tetap berulang. Umat akan terus hidup dalam krisis, kehilangan arah, dan gagal menjaga generasi.


Maka jawabannya jelas: Apakah dengan PP TUNAS ruang digital telah benar-benar aman dan tuntas? Jawabannya: belum.


Karena ketuntasan hanya mungkin diraih dengan penerapan Islam secara kaffah, dalam seluruh aspek kehidupan. Itulah satu-satunya sistem yang datang dari Zat Yang Mahasempurna, bukan dari akal manusia yang terbatas. Dan hanya dengan itulah umat—termasuk perempuan dan anak-anak—akan benar-benar terlindungi, tidak hanya secara teknis, tetapi juga secara ideologis, moral, dan peradaban.


Sudah saatnya kita mulai berfikir untuk menyelesaikan setiap masalah kita dengan melibatkan Allah dan aturan-aturan-Nya yang pasti sempurna.

Posting Komentar

0 Komentar