Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Keluhan karyawan swasta yang bernama Arijal terkait pemotongan THR untuk pajak membuatnya resah. Baginya yang belum juga menerima Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaannya, kabar pemotongan lewat pajak THR yang konon lebih tinggi membuat pikirannya berkecamuk. Terlebih perhitungan pajak tunjangan yang datangnya setahun sekali itu akan dilakukan penyesuaian lewat mekanisme baru. "Sudah gaji seadanya, dipotong pajak seenaknya," keluh karyawan swasta yang bekerja di wilayah Tendean, Jakarta Selatan. (tirto,co.id, 27/3/2024).
Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan pekerja swasta akan dikenakan pajak. Aturan ini dikenakan bagi pegawai swasta yang dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 21. Pemotongan ini dilakukan langsung perusahan kemudian disetorkan ke kas Negara. Penghitungan pajak dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai (1/1/2024). Skema pajak yang baru makin memberatkan rakyat karena bonus,THR dan tambahan penghasilan lain terkena pajak. Tiga hal tentang Pajak THR diantaranya :
1. Pajak THR Pegawai Ditanggung Pribadi.
Pajak THR bagi pegawai swasta ditanggung oleh masing-masing pegawai. Pemotongan ini dilakukan oleh perusahaan (pemberi kerja) secara langsung lalu disetorkan ke kas Negara.
2. Pajak THR PNS Ditanggung Pemerintah.
Tidak sama dengan pegawai swasta, pajak THR bagi PNS ditanggung oleh Pemerintah.
3. Penghitungan Pajak THR Digabung Penghasilan Lain.
Menurut buku Cermat Pemotongan PPh pada Pasal 21/26 Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bahwa penghitungan PPh Pasal 21 pegawai tetap, adalah menghitung semua penghasilan bruto yang diterima satu bulan terakhir. Penghasilan yang dimaksud yaitu keseluruhan gaji, seluruh jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya. Selain itu, termasuk bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan tidak teratur lainnya.
Berdasarkan buku cermat pemotongan PPh Pasal 21/26 DJP, Kemenkeu RI mengatur mengenai penghasilan yang dipotong PPh adalah, penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap yang bersifat teratur dan tidak teratur. Penghasilan tersebut berupa, seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya. Termasuk bonus, tunjangan hari raya, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang bersifat tidak teratur. Pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan dua tarif pemotongan yakni tarif umum dan tarif efektif (TER). TER terdiri dari Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian. Tarif Efektif Bulanan dikategorikan berdasarkan besaran penghasilan tidak kena pajak, sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan wajib pajak ketika tahun awal pajak. TER ini dibagi tiga kategori, yaitu kategori A, B, dan C. Sedangkan, Tarif Efektif Harian diperuntukkan bagi karyawan tidak tetap. (detik.com, 24/3/2024)
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengakui pihaknya menjadi salah satu yang protes terkait mekanisme baru perhitungan PPh 21. PPh Pasal 21/26 sejatinya adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Penghasilan berupa seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya. Kemudian bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur, dan lain sebagainya.
Menurut Fajry, kebijakan baru ini jelas akan membebani masyarakat jika komponen bonus atau THR dijadikan sasaran objek pajak. Dampaknya, jadi lebih besar pajak yang harus dibayarkan dibandingkan metode semula, meski di akhir tahun nanti akan ada penyesuaian. "Kita butuh THR buat hari raya. Di bulan kita mendapatkan THR malah beban pajaknya lebih besar dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya. Meski dalam setahun sama," ujar dia. (tirto.co/id, 27/3/2024)
Dalam Negara kapitalis, pajak adalah salah satu sumber pemasukan Negara. Penerapan pajak atas THR merupakan praktik perekonomian khas kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama Negara. Hal ini tampak pada besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya. Pada 2023, realisasi pendapatan Negara mencapai Rp2.774,3 triliun. Adapun penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun atau 77%. Sedangkan nilai penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) pada 2023 hanya Rp605,9 triliun atau 21%. (Katadata, 3-1-2024).
Dalam PNBP tersebut terdapat Pos Pendapatan SDA yang jumlahnya tentu lebih kecil lagi. Ini tentu miris, mengingat kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besarnya, tetapi penerimaan dari SDA minim, sedangkan mayoritas penerimaan justru dari pajak. Pajak sendiri adalah setoran rakyat pada Negara. Dominasi pajak pada penerimaan APBN ini menunjukkan bahwa rakyat tengah membiayai Negara ini secara mandiri. Lalu dimana peran Pemerintah? Sekadar sebagai pemungut pajak? Mengapa Pemerintah seolah justru menjelma menjadi “pemburu” pajak? Dengan berbagai cara, penerimaan dari pajak digenjot dan hampir semua hal dipajaki. Ironisnya lagi, hasil uang pajak berupa pembangunan dan layanan publik ternyata tidak leluasa dinikmati rakyat. Terbukti, layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan nyatanya makin mahal. Untuk menikmati hasil pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, kereta cepat, dan sebagainya, rakyat harus merogoh kantong dalam-dalam.
Kondisi yang berbeda terwujud dalam Khilafah. Islam memiliki sumber pemasukan Negara yang bermacam-macam. Pajak adalah pilihan terakhir yang dilakukan Negara Sistem Pemerintahan Islam. Ini karena pajak tidak dijadikan sebagai sumber pemasukan Negara yang utama, sebaliknya Khilafah memiliki banyak pemasukan. Pos pendapatan Khilafah meliputi : Pertama, bagian fai dan kharaj. Mencakup seksi ganimah (ganimah, fai, dan khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dharibah (pajak). Kedua, bagian pemilikan umum, meliputi seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan, seksi laut, sungai, perairan, dan mata air, seksi hutan dan padang rumput, dan seksi aset-aset yang diproteksi Negara untuk keperluan khusus. Ketiga, bagian sedekah, meliputi seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak.
Khilafah akan mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan, seperti zakat mal, jizyah, kharaj, dan lainnya. Dari semua pos pemasukan itu, Khilafah akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menarik pajak. Dharibah (pajak) hanyalah pemasukan yang bersifat insidental, tidak terus-menerus. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas Negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan yang mendesak yang harus dipenuhi. Oleh karenanya, pajak bukanlah sumber pendapatan Negara yang utama. Khilafah tidak akan memungut pajak dari seluruh rakyatnya (kaya maupun miskin) secara terus-menerus, sebagaimana Negara kapitalis saat ini, pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya. Dengan pengaturan APBN yang bagus dalam Khilafah, akan terwujud kemandirian ekonomi sehingga tidak butuh penarikan pajak.
Islam mewajibkan Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui berbagai mekanisme. Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, bukan hanya dengan memberikan THR setahun sekali. Khilafah akan menggratiskan layanan pendidikan dan kesehatan sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan uang untuk memperolehnya. Khilafah juga akan menerapkan sistem pengupahan yang adil, yaitu pekerja mendapatkan upah yang makruf (layak) sesuai hasil kerjanya sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbagai fasilitas publik, seperti transportasi, hasil pengelolaan SDA, seperti BBM dan gas, bisa rakyat akses dengan harga murah. Serangkaian kebijakan ekonomi inilah yang akan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi rakyat. Kesejahteraan yang terus-menerus, bukan hanya THR setahun sekali. Wallahu a’lam bisshowab.
0 Komentar