Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb., Bd. (Aktivis Muslimah)
Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa semakin marak terjadi. Dalam sebulan terakhir, beberapa insiden bunuh diri di lingkungan kampus mencuat ke permukaan. Yang terbaru, seorang mahasiswi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta berinisial E (18 tahun) ditemukan tewas setelah melakukan aksi bunuh diri pada Jumat (4/10/2024). Motif dan alasan korban memilih kampus sebagai tempat untuk mengakhiri hidupnya masih belum diketahui. Pihak kepolisian kini tengah melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kasus ini.
Sehari sebelumnya, seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) berinisial VIS ditemukan gantung diri pada Kamis (3/10/2024). Ia diduga melakukan aksi nekat ini akibat terlilit pinjaman online (pinjol). Sementara itu, seorang mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya berinisial SN (20) juga diduga bunuh diri dengan melompat dari lantai 22 Gedung Universitas Ciputra, Surabaya, Rabu (18/9), sekitar pukul 06.00 WIB. Menurut Kapolsek Lakarsantri, Kompol M. Akhyar, dugaan sementara menyebutkan motif bunuh diri SN terkait masalah asmara.
Kasus lain juga terjadi di Universitas Kristen Petra (PCU) Surabaya, pada Selasa (1/10/2024). Seorang mahasiswa jurusan Teknik Mesin berinisial R (23) ditemukan tewas setelah melompat dari lantai 12 gedung kampus. Polisi menduga korban mengalami depresi setelah melakukan pemeriksaan terhadap keluarga dan pihak kampus. R diketahui pernah menjalani perawatan oleh psikiater.
Meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa harus menjadi perhatian serius. Fenomena tragis ini dipicu oleh berbagai faktor yang memengaruhi kondisi sosial dan mental mahasiswa. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Mengutip pernyataan pakar Psikologi Universitas Airlangga, Dr. Nur Ainy Fardana, yang dimuat dalam Kompas (21/11/2023), ada lima faktor utama yang dapat menyebabkan mahasiswa bunuh diri. Di antaranya adalah masalah kesehatan mental, tekanan akademik dan keluarga, kesepian akibat kurangnya dukungan sosial, masalah finansial yang serius, serta trauma atau pelecehan. Faktor-faktor ini sebenarnya merupakan dampak dari sistem kapitalisme sekuler yang berlaku saat ini.
Kesehatan mental mahasiswa kerap terganggu oleh berbagai masalah, seperti depresi, gangguan kecemasan, insomnia, hingga penyalahgunaan narkoba dan alkohol. Kondisi ini tidak terlepas dari paradigma kehidupan sekuler yang cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritual. Dalam sistem ini, tujuan hidup hanya berfokus pada pencapaian materi dan kesenangan duniawi, yang membuat seseorang mudah merasa gagal dan putus asa saat harapan tidak tercapai.
Tekanan Akademik dan Keluarga
Beban akademik yang berat sering kali menjadi pemicu stres bagi mahasiswa. Salah satu contoh adalah kasus mahasiswa PPDS Undip yang diduga bunuh diri akibat tekanan tugas dan dugaan bullying dari senior. Selain itu, tuntutan orang tua yang terlalu tinggi juga dapat menambah tekanan bagi mahasiswa, yang merasa harus selalu berprestasi untuk memenuhi harapan keluarga.
Kesepian dan Kurangnya Dukungan Sosial
Generasi muda kini semakin banyak menghabiskan waktu di dunia maya, yang mengurangi interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Media sosial seakan menjadi pelarian bagi mereka yang kesepian, namun tidak mampu memberikan dukungan sosial yang sesungguhnya. Akibatnya, banyak mahasiswa yang terjebak dalam perasaan terisolasi.
Masalah Finansial
Masalah ekonomi juga menjadi salah satu penyebab bunuh diri di kalangan mahasiswa. Biaya kuliah yang tinggi mendorong beberapa mahasiswa nekat meminjam uang melalui pinjol, yang kerap berujung pada situasi finansial yang sulit. Ironisnya, Menko PMK Muhadjir Effendy justru mendorong penggunaan pinjol resmi untuk membantu mahasiswa membayar uang kuliah, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dari praktik tersebut.
Trauma dan Pelecehan
Kasus pelecehan juga berperan dalam meningkatnya angka bunuh diri. Kasus NW, mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang, yang bunuh diri setelah dipaksa melakukan aborsi oleh pacarnya, menunjukkan betapa kehidupan bebas yang dihasilkan oleh sistem sekuler membawa dampak serius bagi generasi muda.
Dari berbagai faktor tersebut, terlihat jelas bahwa sistem pendidikan sekuler telah gagal dalam membentuk kepribadian yang kuat dan berlandaskan nilai-nilai moral yang kokoh. Sistem ini tidak didesain untuk menghasilkan lulusan yang berkarakter mulia, melainkan hanya berfokus pada pencapaian materi dan kesuksesan duniawi.
Sistem pendidikan yang berlandaskan Islam menawarkan solusi berbeda. Dengan penerapan sistem Islam yang kafah, diharapkan tercipta generasi yang berkepribadian Islami, cerdas, dan memiliki visi hidup yang jelas.
0 Komentar